Inden dua
bulan nggak datang2, muterin kecamatan, masuk satu demi satu toko, kebanyakan
jawaban "habis mas!", lalu seorang teman dari teman facebooknya teman
perawat di sini mengunggah foto dua box ChokiChoki. Dan foto itu dipamerkan ke
saya, otomatis ati njundil dong!
"Dijual
gak? tanya harganya wi!"
"Bentar
dok,
"Eh ini
bales orangnya, 25ribu!"
Gile. Bulan
Maret beli di warung sebelah masih 17.500. Tapi tak mengapa untuk menghibur
jiwa yang sedang dahaga.
Deal harga,
dan saat itu juga barang langsung diantar sama mbaknya. Padahal di luar hujan
deras. Lalu tidak sampai 10 menit, ada suara ketukan di pintu poli gigi.
"Aha!"
Lihat ekspresi gondesnya.
2 box
ChokiChoki yg masing2 berisi 20 batang coklat pasta, serta bonus 20 kartu
Boboiboy, yang gambarnya hidup seperti di film animasi 3D jika disinkron dgn
benar lewat aplikasi ChokiChoki di HP sudah ada di depan mata.
Maka
terpujilah perdagangan online. Rejeki anak lumayan sholeh.
Itu Prau. Dari pintu samping rumah. Prau, yang beberapa bulan terakhir jadi famous. Prau, yang perminggu, tidak kurang dari seribuan pendaki naik untuk menjelajahi keindahannya. Namun kebanyakan pendaki karbitan, yang di atas sana 'sengaja' meninggalkan sampah sembarangan.
Fuck you untuk kalian pada pendaki yang tidak membawa kantung sampah sendiri.
---
06 Agustus 2014
---
19 Agustus 2014
Jadi memang harus dijaga, minimal sampahnya. Biar semua-semua yang sudah sampai atas, terus tidak "Loh kok nggak sama kayak di foto??". Serius. For a brighter future and sunrise.
---
17 November 2014
Pola pikir. Kebiasaan. Pencegahan untuk menyelamatkan. Meskipun sudah terlanjur. Tapi, doktrin tidak cukup hanya sekali diberikan. Membutuhkan pengulangan. Repeatation.
Tentang gunung Prau yang perminggu sekarang minimal seribuan pendaki 'memperkosa' keindahannya. Berbagai cara telah ditempuh, sampah menahan kartu identitas, untuk kemudian bisa diambil dengan cara menukar sampah yang dibawa dari atas. Tapi nyatanya, masih saja terlihat memilukan.
Yang menjengkelkan dan tidak habis pikir, botol-botol plastik berisi urin ditinggalkan begitu saja di atas gunung. Alien saja tidak sebegitunya.
Kabar baiknya, jika tidak ada halangan, setelah tahun baru akan dilakukan penutupan. Ya, Prau untuk sementara akan jadi forbidden mount. Dilarang didaki. Tidak boleh ada yang mendaki. Biar ilalang-ilalang itu regenerasi, biar tanah-tanah itu istirahat sejenak mencium tapak boots, biar udaranya tidak bau manusia.
Media yang lebih permanen akan sangat dibutuhkan. Jika dibayangkan, seperti papan tulisan besi yang berdiri di depan kantor kecamatan. Tapi kita tanam di atas gunung, dengan versi yang lebih lebar, agar mereka bisa membaca dengan jelas kalimat, BAWA TURUN SAMPAHMU!. Termasuk di sini adalah urin mereka sendiri.
Kata orang, "Mulailah dari apa yang kita bisa". #BawaTurunSampahmu, sebagian penjulannya akan digunakan untuk merealisasikan media tersebut.
If you're interested. Silahkan kirim SMS ke +62 856 52191198 dengan format:
Nama :
Size :
Warna :
Lengan (panjang/pendek) :
Alamat :
Harga 100K (exclude ongkir; untuk yang di luar YK)
Terima kasih sudah menyempatkan membaca dan mengambil keputusan untuk membeli.
---
06 Januari 2015
Yang seharusnya jadi 'Unspoken Rule' untuk siapa saja. Plang tiga dimensi seukuran pintu rumah, dari campuran logam dan galvanis sudah tiba di garasi. Menunggu sampai Prau dibuka kembali, setelah reboisasi dan di bulan ketiga, di atas gunung sana akan terpatri.
Terima kasih teman-teman yang sudah mendukung kampanye ini.
---
31 Maret 2015
Good news for everybody; plang-nya sudah sampai di puncak gunung.
Semoga tidak hanya jadi pajangan. Juga tidak cuma jadi background foto-foto. Tapi jadi simbol pengingat. Pembuka mata hati orang-orang yang mendaki. Bahwa meninggalkan sampah di atas gunung, atau di mana pun itu adalah tindakan menjijikkan, amoral dan berbahaya.
Sekali lagi, Fuck you untuk kalian para pendaki yang tida bawa kantung sampah sendiri.
Nb: plang-nya jangan dicoret-coret ya. Tolong.
---
04 Juni 2015
Dari hashtag #SavePrau di instahram. Good vibe.
---
20 September 2015
---
Kampung Komodo, 25 Mei 2016
Meskipun hari-hari sekarang perilaku buruk tersebut mulai berkurang, tapi tidak menutup kemungkinan akan terus terulang. Doktrin positif tetap harus beregenerasi. Juga tidak melulu di gunung, bisa juga di laut, di jalan yang kita lewati setiap hari, atau di depan rumah. Di mana saja.
The moment when you’re about to jump off the boat. It was
surreal. Kamu bahkan tidak menyadari, untuk beberapa detik selanjutnya
ubun-ubun rambutmu sudah setengah meter di bawah permukaan. Air garam perlahan
berpentrasi melalui celah-celah kecil regulator, sampai menyentuh bibir dan
lidahmu. Asin.
Everything is blue, everything is water. “Apakah saya akan
baik-baik saja di bawah sana?”, “What kind of creatures I’m going to meet down
there?”. Pertanyaan-pertanyaan seperti itu akan berputar, memenuhi kepala,
sembari menunggu dive buddy kamu melakukan giant step.
“Are guys ready?”. Jika ada yang berteriak seperti itu, berarti
sudah saatnya kamu mengempiskan udara di BCD. Perlahan tapi pasti, tubuhmu akan
semakin ‘tenggelam’. Bagiku rasanya seperti melayang-layang, tetapi di dalam
air.
So quiet. Liberated. Then, you’ll hear nothing but your own
breathing.
---
Beberapa tahun
sebelumnya..
Tak lain tak bukan adalah Kaka. Vokalis Slank. Yang dulu
ceking, dan membuatku malas makan biar juga tetap ceking. Yang gigi-gigi
depannya geripis, hitam, jelek sekali dan juga membuat saya malah gosok gigi.
Biar apa? Biar kayak Kaka! Sebegitunya. Iya, Kaka bagaikan nabi. Yang harus
diikuti.
Pernah dengar lagu Aborsi dari Illegal Motives? Nah, itu juga
inspiratul maut dari Slank. Dan masih banyak lagu yang lain, contoh yang cukup
familiar; “Cemas” nya Alterego, coba yang nyanyi Kaka, pasti jadi lagunya
Slank. Haha. Piss!
Untung saya masuk kuliah Pergigian Dokter, jadi gigi-gigi
saya secara tak langsung terselamatkan. Karang-karang tebal nan adiluhung yang
sudah bertahun-tahun meradangi gusi dan bikin bau mulut, kandas di tangan teman
seperjungan saya dulu waktu Koass. Mulut saya berdarah-darah waktu itu.
“Ya ampun Dibby! Karang gigimu Mashaallah!” begitu komentarnya.
Tapi lain dulu lain sekarang. Everybody’s changing my friends.
Termasuk juga Kaka idola saya. Body-nya yang dulu ceking, dan sewaktu saya
nonton Slank di Boshe tahun 2010 badannya sudah tegap, perut sixpack. Atletis-lah pokoknya. Apa kabar giginya? Jadi
putih, bersih, berbaris rapi. Ajaib. Senyumnya jadi tidak menakutkan. Beliau kelihatan
lebih muda, juga enerjik.
Saya terinspirasi juga akhirnya itu. Pergi ke apotik, beli
obat cacing lalu ke Gym, daftar untuk latihan kebugaran. Damn! Baru satu bulan
sudah menyerah. Ambruk. Mungkin memang tidak berbakat perut kotak-kotak.
---
Aku masih meyakini, satu-satunya olahraga yang menyenangkan
yang bisa aku lakukan adalah Stage Diving. Kamu berdiri di tepi panggung di
acara konser musik, entah itu ‘kosongan’ atau sambil menggendong gitar, lalu
dengan sekuat tenaga kamu melompat sambil memutar badan ke arah kerumunan
penonton yang juga sedang sibuk sendiri-sendiri. Jika untung, maka kamu akan
merasakan telapak tangan-tangan manusia itu dipunggungmu, menopang, mengangkat
tubuhmu, membuatmu berputar-putar cukup lama di atas kepala orang-orang, hingga
akhirnya diturunkan pelan-pelan. Puas sekali rasanya.
Tapi jika sedang buntung, ya wasalam. Bisa jadi kepala, atau
kakimu yang cidera.
Sampai tahun 2012, saat media sosial Instagram mulai mewabah
di Indonesia. Pun, orang semakin banyak jual lagu secara digital, terutama via
iTunes. Dan gilanya, mereka jual tujuh ribu rupiah per lagu, itu setara dengan
harga satu album Slank – Lagi Sedih waktu saya SD dulu. Aku ingat betul itu, karena
belinya pakai uang SPP yang dikasih ibu.
Dulu dapat macam-macam, ya kasetnya, sleeve-nya yang banyak
tulisannya itu, kadang Slank juga nyelipin bonus di kaset seperti pick gitar
dan celana dalam. Generasi 90an itu adalah seberuntung-beruntungnya generasi.
Everything was real.
Kembali ke Instagram. Ada yang follow Kaka? Dia pakai nama
akun @fishgod. Dari namanya saja sudah Dewa Ikan. Pasti berhubungan erat sama
yang namanya laut. Dan benar saja, selain posting video caranya berolahraga di
dalam rumah, dan beberapa foto Slank di backstage. Kaka posting foto dirinya
sedang diving. Yes, Scuba Diving yang pake masker dan oksigen di punggung itu. Belum
lagi foto aneka flora dan fauna bawah laut. Hatiku tergetar.
Tahun itu Kaka memang lagi senang-senangnya menyelam. Sering
juga dia mengunggah sketsa-sketsa biota laut, terutama gambar hiu dengan
hashtag #SaveShark. Kalau aku pikir, memang ada juga masa jenuhnya, naik turun
panggung, menyanyi di sana-sini, sampai Jakarta mikirin materi album baru,
masuk ke studio, rekaman lagi, lalu promo lagi. Dan itu dia lakukan dari tahun
1990.
Sewaktu melihat foto dan videonya di dalam laut. Aku seperti melihat
seperti sosok lain. Bukan lagi Kaka vokalis Slank, tapi bener-bener jadi
dirinya sendiri. Bebas.
Maka di tahun yang sama pula, aku melafalkan niat yang
sungguh-sungguh dalam hati, “Harus bisa diving biar kayak Kaka!”
Tapi, bagaimana mungkin, berenang saja saya tidak bisa.
Slanker sejati tidak mudah kecil hati. “JURUS TANDUR”, Maju
Terus Pantang Mundur! Kan gitu kalau Bim2 teriak lewat microphone dari balik
perangkat drumnya waktu lagi manggung.
Lalu apa yang saya lakukan? Pergi ke toko olahraga ditemani
adik saya. Beli kacamata renang dan papan pelampung kecil yang biasa dipakai
anak TK untuk latihan berenang. Mbak penjaga tokonya tertawa.
Memalukan memang,
tapi mau apa lagi. Demi diving di masa depan.
Seminggu sekali, kadang dua kali saya latihan di kolam renang
IKIP Yogyakarta, sampai berbulan-bulan. Bahkan pernah meminta bantuan mahasiswa
jurusan olahraga untuk mengajar saya berenang gaya bebas yang baik dan benar.
“Kakinya jangan kaku-kaku mas!”
“Kepalanya nunduk lagi itu! Nafasnya jangan cepet-cepet!”
Susah amat ya berenang. Coba Kurt Cobain masih hidup, dia kan
guru renang.
Belum lagi sudah berapa gallon air yang sudah masuk ke
perutku dalam kurun waktu itu, mungkin juga sedikit campuran air kencing para pengunjung
lain. Dan setelah cukup lama berlatih, saya mulai melepas papan pelampungnya,
alias tangan saya tidak pegang apa-apa lagi, tapi belum sampai sepuluh meter
aku sudah keplepek. Tersedak. Spontan batuk-batuk. Sedih.
Impian untuk bisa diving, seperti menjauh.
---
Tahun berikut. Di bulan Oktober, takdir menempatkan saya ke
sebuah kota kecil di provinsi Kalimantan Timur. Sangatta. Kota yang belum lama
muncul di peta, jadi ya memang dimaklumi kalau saudara-saudara jadi
mengernyitkan dahi seperti mendengar sesuatu yang asing. Astral.
Kamu tahu ngapain saya disini?
Tidak jauh-jauh juga dari aktifitas permulut gigian, gadhul
dan nanah di gusi-gusi pasien yang malas gosok gigi. Setiap hari, mata saya
memicing ke gigi-gigi mereka yang berlubang, rasanya kepala seperti tenggelam
di lautan air ludah di bawah lidah.
Dan seperti halnya Kaka, aktifitas yang sama terus menerus
dilakukan tanpa jeda juga akan memunculkan perasaan jenuh.
---
Delapan bulan sudah aku berkubang ‘lumpur’ dalam mulut
orang-orang. Beruntung aku nemu kolam renang sungguhan di sini. Sebisaku,
mengingat teknik renang saya pelajari di
Jogja dulu, aku mencoba berlatih renang lagi. Meskipun dengan gaya bebas yang
masih belum bisa disebut pas-pasan.
Bersyukur, tepat di bulan Mei 2014, dua orang kawan baik dari
Samarinda, Dee dan Kori mengajakku pergi ke pulau sebelah. Sulawesi.
“Biar otak nggak spaneng boi! Lemesin juga urat-urat
lehermu!” kata mereka.
Pemerintah Daerah Gorontalo tidak berbohong. Slogan ‘The
Hidden Paradise’ yang terpasang di bandara memang benar adanya. Indonesia
adalah Negeri yang kaya raya. Pohon kelapa di mana-mana, nyiur melambai.
Aduhai.
Di sana, tepatnya di taman laut desa Olele, saya
berkesempatan untuk mencoba Snorkeling untuk pertama kali. Lautnya biru sekali.
Gaya ya, berenang aja belum bisa. Tapi aku jadi tahu apa bedanya snorkeling dan
diving.
Memakai wetsuit, masker, snorkel dan fins (kaki katak) adalah
hal yang baru bagi saya. Tapi kata bapak yang menyebut dirinya Cina Swasta,
sekaligus kami di sana,
“Tenang saja mas, nanti kami ajari..”
Dengan kapal modifikasi dari bambu dan kaca, yang dirakit
sendiri oleh orang desa sana. Kami dibawa agak menengah, menjauh dari bibir pantai.
Dan benar, pemandangan terumbu karang dan ikan-ikan warna warni yang berenang
di antaranya, membuatku lupa sama sekali penyakit-penyakit pasien di poli gigi.
Kejenuhan begitu saja terobati. Padahal baru di kedalaman 1-2 meter, lho.
“Kakinya jangan kaku-kaku mas!”
Lagi-lagi kudengar kalimat itu.
Ada untungnya juga, beberapa minggu sebelumnya aku rajin ke
kolam renang. Meskipun cuma sekadarnya, ternyata membuat badan kita lebih terbiasa
dengan air. Aku tidak berani jauh-jauh dari tali yang diikatkan di kapal. Takut
kepayahan lalu tenggelam.
Dari Gorontalo, besoknya kami berpijak menuju Sulawesi bagian
tengah, memotong jalan menumpang kapal Fery dan berhenti di pulau Kadidiri.
---
Kadidiri yang indah bukan buatan teman. Di pulau ini, menjadi
awal perkenalanku dengan dunia scuba diving. Asik ya?
Satu kali dive dipatok dengan harga 500ribu. Mahal juga
ternyata, tapi ya sudah jauh-jauh masak nggak nyobain. Kami iyakan saja.
“Sudah pernah snorkeling sebelumnya?” Tanya Pudin, selaku
dive instructor
Kami mengangguk.
Tentu saja aku ingat, sehari setelah snorkeling di Gorontalo,
aku snorkeling lagi di komplek pulau tetangga dari Kadidiri. Demi Tuhan,
rasanya seperti mau mati. Percaya diri yang berlebihan, aku tidak memakai
wetsuit, fins, apalagi rompi safety. Cuma koloran, lalu masker dan snorkel. Dan
ternyata apa, arusnya besar.
Aku terseret jauh dari kapal, yang juga terlihat
menjauh. Snorkel mulai bocor, aku panik, air banyak kutelan. Harusnya tinggal
mengapung saja, tapi aku malah berusaha berenang melawan arus ke arah kapal.
Aku tidak kuat.
Pemandangan di bawah sana terasa lebih jauh. Aku melihat
wajah ibuku.
Ya Allah, jika memang
harus berakhir disini, maka ampunilah dosa-dosaku
Dalam ratapan yang cukup mencekam itu, kusadari perahu
mendekat. Salah satu kru, menarik tanganku.
“Ada yang tidak bisa berenang?” tanyanya lagi, membuyarkan
lamunan
“Saya mas,” jawabku
“Oke nggak papa, yang penting jangan panik”
Jantungku berdebar. Gugup tak tertahan.
Secepat ini kah saya
menyusul Kaka diving? Tanyaku membatin.
Mas Pudin kemudian mengenalkan seperangkat alat selam,
dimulai dari masker,
“Apa fungsi masker?” dia bertanya,
“Biar tidak kemasukan air mas, mata dan hidungnya!”
“Pintar sekali!”
Sesaat, kami berasa jadi anak SD.
Lalu dia mengenalkan Regulator,
“Alat ini yang nantinya akan kalian gunakan untuk bernafas
selama di dalam air. Nafasnya pakai mulut, jadi hidungnya istirahat dulu,
“nanti digigit tapi jangan kencang-kencang ya, nah regulator
ini tersambung ke tabung udara yang dipasangkan ke BCD.”
“Apa itu mas?” Tanya Kori
“Buoyancy Control Device. Pengendali daya apung mu nanti
selama menyelam, jadi bisa dikembangin, dan begitu akan turun ke bawah bisa
dikempesin. Ini bentuknya kayak rompi,
“Dan terakhir adalah weight belt, sabuk yang diberi pemberat,
sesuai dengan keperluan, memudahkan badan untuk turun”
Susah juga menghafalnya. Karena memang baru kali ini dengar
istilah-istilah seperti itu.
“Jadi ini pertama kali kan kalian diving?”
“Saya sudah pernah mas, beberapa bulan lalu di pulau Weh”
jawab Kori,
Sementara aku dan Dee, baru akan.
“Karena kalian belum punya lisensi, maka ini disebut trial,
atau discovery scuba diving, paling nanti sampai 13-15 meter..”
Kami manggut-manggut,
“Oh iya, satu hal lagi. Begitu sudah turun di air, nanti
telinga kalian akan terasa seperti tertekan, nah untuk itu harus disiasati
dengan equalize, biar tidak sakit”
“Equalize?”
“Jadi, setiap satu meter kalian akan melakukan equalize,
mengambil nafas lewat mulut, lalu mengeluarkannya lewat hidung, tapi kalian
tutup dengan jempol dan telunjuk, biar udaranya pop-out lewat telinga.. begitu
terus, sampai telinga terasa nyaman dan tidak sakit lagi. Oke?”
“Oke mas,” jawab kami kompak
Tanpa disadari, perasaan takut malah muncul.
“Well, cukup dari saya. Sebentar akan ada satu lagi
instruktur yang menemani..
Pintu ruangan terbuka, lalu ada yang masuk, “Oh, ini dia
orangnya”
Ternyata orang kulit putih.
Dia datang, tersenyum kepada kami, mengajak jabat tangan,
“Atse” sapaku,
“Asu” jawabnya mantap,
“Who??” aku kaget,
“My name is Asu”
Kami bertiga saling melirik. Menahan ketawa. Asu kemudian
mengambil secarik kertas, dan menuliskan namanya.
“AXU”
Mulut kami ber-ooo panjang.
“Axu, where are you come from?” Tanya Dee, sambil nyekikik
“I’m from Finland. Nice to meet you,
“OK guys, we’re gonna have some fun!” Axu memberi semangat.
---
Kami menyelam selama 45 menit, setelah sebelumnya di
kedalaman 2 meter, kami diajari dulu skills ‘mengeringkan’ masker jika air
masuk ke dalamnya, dan bagaimana mengatasi jika regulator yang kita gigit lepas
dari mulut.
Axu benar, It was really fun. Brand new experience. Meskipun
air nya tidak sejernih di desa Olele,
jarak pandang tidak terlalu jauh, tapi aku sempat melihat udang besar
yang warnanya biru campur kuning. Waktu dikejar mas Udin untuk difoto, dianya
masuk ke sela-sela bebatuan.
Sebenarnya yang membuat mengesankan adalah, bagaimana keadaan
membuatku bernafas di dalam air lagi. Bukankah di awal kehidupan, Sembilan
bulan lamanya kita pernah tinggal di suatu tempat, kalau tidak salah rahim
namanya, dan selama itu kita bernafas di perairan plasenta. Bukankah itu juga
air? Jangan-jangan kita adalah salah satu jenis reptilia.
Di antara kepak kaki fins yang masih sering kali menabrak
kerang-kerang tak berdosa, sesekali aku berdiam ditempat. Menggerakan badan,
serong kanan kiri, memutar, mendengarkan nafasku sendiri, “finally man, I’m in
the water!”. Meskipun masih takut-takut sebenarnya.
Malam harinya. Badan benar-benar terasa seperti patah-patah.
---
Sesampainya di Sangatta lagi, obrolan tentang ‘sebaiknya
ambil lisensi menyelam jika ingin lebih bisa eksplorasi’ masih saja
terngiang-terngiang. Tapi dimana?
Ada yang menyarankan ambil di Bali, kami survey harga, masih
terlalu mahal menurutku. Belum lagi tiket pesawatnya. Jauhnya. Urung jadinya.
Lalu ada saran dari teman, “Di Jakarta saja!”, eh ternyata lebih mahal lagi.
Atau di Bunaken? Mau saja sih, asal dibayari. Hehe. Enak aja!
Hingga penghujung tahun, belum ada petunjuk mendapatkan
lisensi dimana.
Lalu suatu hari, selesai praktek malam, aku iseng mampir ke
poli gigi satunya. Pintunya bersebelahan. Teman sejawatku masih merawat
pasiennya. Aku duduk saja sambil mainan HP.
“Dok ini bisa pasang jaketnya kapan ya?”
“Paling cepet seminggu lagi, kan dimasukin ke lab dulu..”
“Iya soalnya minggu depan, minggu depannya lagi saya ada
rencana mau diving, takutnya kambuh sakitnya pas di dalam”
Diving?? Aku tidak
salah dengar? Pasien?
Daun telingaku melebar. Sampai jatuh ke lantai.
“Tenang mas, inshaallah sudah jadi sebelum itu” kata temanku
yang dokter gigi, meyakinkan.
Memang kalau dari fisik dan perangainya, pasien ini terlihat
terpelajar, tipikal orang office perusahaan batu bara.
“Suka diving juga mas?” tanyaku iseng
“Iya mas, eh dok! Hehe”
“Udah punya lisensinya juga?” aku makin penasaran
“Sudah mas, ini baru dapat 2 bulan lalu, tapi masih kartu
sementara karena kartu aslinya belum jadi..”
“Wow..
Mataku berbinar cerah.
“Ambil dimana kursusnya?”
“Di sini aja.”
“Hah di Sangatta? Ada gitu?”
“Iya mas! Nggak percaya kan?”
“Masa sih??”
“Iya, di Aquatic Tanjung bara!”
Saya merasa bersalah, atas penghakimanku terhadap Sangatta
selama ini.
Lalu Fabri memamerkan kartu temporary dive-nya kepadaku.
Disitu tertulis;
‘PADI Temporary Card Open Water Diver’
Dipojok kiri kartu, di bawah foto diver, ada logo seperti
globe, bulat, bergaris-garis rektangular, dan di tengah-tengahnya ada ilustrasi
diver berwarna merah, seperti sedang menyelam membawa obor api. Gagah.
Sesuai dengan petunjuk mas Pudin, untuk divers license
sebaiknya ambil di PADI saja. Professional Association of Diving Instructors.
Yang konon katanya sudah terpercaya sejak dahulu kala.
Aku juga tidak percaya, sewaktu Fabri menyebutkan harga
kursusnya.
“Percaya tidak percaya mas, kursus PADI di sini harganya
paling murah sedunia!”
Dan yang terpenting, lokasinya pun dekat. Hanya setengah jam
saja naik motor dari tempat tinggalku.
---
Aquatic adalah nama dermaga, sekaligus pantai di daerah
Tanjung Bara di sini. Tanjung Bara sendiri dulu dikenal karena banyaknya
ekspatriat dari perusahaan yang tinggal disana, pernah juga ada sekolah internasional
untuk anak-anak mereka. Tapi sekarang jumlah ekspat sudah menyusut, dan gedung
sekolah sudah tidak dipakai lagi. Beberapa lebih memilih menyekolahkan anaknya
di rumah, alias Home Schooling.
Pernah, sekali saya ke Aquatic. Meninggalkan dulu tanda pengenal
di pos sekuriti, karena memang kawasan ini dibuka untuk umum hanya untuk akhir
pekan. Banyak monyet-monyet bergelantungan, di kanan kiri jalannya, kalau
beruntung bisa melihat Bekantan. Cukup menghibur. Karena di pantai yang berbaur
dengan hutan mangrove itu, kita tidak boleh berenang. Ada Buaya dan ubur-ubur
beracun.
Untuk alasan itulah, saya masih tidak percaya adanya Dive
Club di Sangatta. Sampai aku mengirimkan surel, ke alamat yang dikasih Fabri
tempo hari, yang beberapa jam kemudian langsung mendapat balasan.
---
Sama halnya, aku yang tidak percaya ada PADI di Sangatta,
begitu juga Dee dan Kori. Mereka terbahak-bahak mendengarnya.
“Jangan-jangan itu penipuan? Coba sana searching dulu!”
“Itu Padi-padi an kah Tse’? Apa Padi jadi-jadian?!”
Tak henti-hentinya mereka tertawa. Apalagi mendengar harga
kursusnya yang miring. Aku meninggalkan sebentar grup Imessage itu, karena agak
kesal.
Tapi pada akhirnya mereka percaya, dan mau saja didaftarkan.
Di email itu, Pak Shane memberitahukan. Kemungkinan kelas
akan di buka paling cepat bulan Maret 2015. Disamping menunggu student lain
yang mendaftar sampai paling tidak 6-7 orang, kapal Barakuda yang biasa
dikendarai untuk diving juga sedang dalam perbaikan.
Setelah saya kirimkan data diri, dan juga nomer sepatu, bapak
dari Australia ini membeberkan syarat wajib yang harus dilalui untuk bisa
mengikuti Diving Course. Yaitu;
‘Berenang sejauh 200 meter non-stop dan mengapung selama 15
menit (boleh terlentang atau mengkurap, kaki tidak boleh bergerak), atau
berenang sejauh 300 meter non-stop dengan alat bantu masker, snorkel, fins dan
mengapung selama 15 menit’
Man! Not again. Ada kata berenang, dan itu bermeter-meter!
---
Kamu percaya? Bahwa di saat kita sedang meniatkan sesuatu
yang baik, dalam hal ini adalah kursus menyelam, alam semesta seperti ber-kongkalikong
untuk membantu mewujudkan impian kita. Karena suatu sore di bulan Januari,
tanpa sengaja saya dipertemukan dengan seorang guru renang di kolam renang yang
biasanya. Namanya mas Gun.
Dia adalah tipe pengajar yang lebih bersemangat daripada
murid yang diajarinya.
“Masih bulan Maret kan? Pasti bisa. 200 meter itu ringan
saja.” katanya dengan logat Bugis-Indonesianya yang kental.
Aku menjadi percaya diri.
Risa yang bekerja di bagian Apotik, yang sudah mahir berenang
gaya katak, ikut juga belajar gaya bebas. Meskipun sebenarnya, tidak
dipersyaratkan 200 meter nanti itu dengan gaya apa, yang penting sampai saja.
Dengan latihan yang cukup intens, di bulan ketiga, aku sudah
mengalami kemajuan yang cukup lumayan. Jika dulu, dua tahun lalu 10 meter saja
tidak sampai, sekarang sudah bisa non-stop 50 meter gaya bebas. Bersamaan
dengan itu, ada email masuk dari pak Shane, jadwal Dive Course diundur sampai
awal bulan Juni. Yang mana, lebih menguntungkan bagiku. Lagipula, aku masih
menabung 300ribu perbulan untuk dibayarkan pada saat selesai kursus nanti. Jadi
kalau bulan Mei, jumlahnya sudah pas.
Sisa bulan dua bulan untuk belajar berenang. Tapi aku sudah
yakin tidak akan bisa mencapai angka 200 meter non-stop, jikalau ‘telanjang’.
Jalan satu-satunya adalah dengan memakai alat bantu, meskipun track nya jadi
lebih panjang. 300 meter. Tidak apa-apa. Lalu saya memutuskan untuk membeli
masker, snorkel, fins dan sekaligus wetsuit. Modal dikit, lah.
Pertama bertemu pak Shane, aku sedang mengantarkan kawan ke
Bandara Tanjung Bara. Sebuah bandara private untuk perusahaan, dengan
pesawat-pesawat kecil yang juga memiliki kapasitas kursi yang terbatas.
Sepanjang jalan aku bercerita kepada kawan tentang kursus diving yang akan
dimentorin oleh beliau. Dia bilang, bahwa pak Shane adalah atasannya. Dan
secara kebetulan, manusia yang kami bicarakan tadi juga sedang Check-in berada
di bandara yang sama.
“Nah itu orangnya.. coba saja samperin bro!” kata kawanku
Selama ini kami memang hanya komunikasi via email.
Surprisingly, ketimbang seorang General Manager, pak Shane terlihat lebih mirip
rocker paruh baya angkata Motley Crue, dengan rambutnya yang panjang dan kedua
piercing di kedua telinganya. Dan selanjutnya kuketahui badannya juga penuh
dengan rajah tattoo.
“Baik saja, tidak masalah berenang dengan alat bantu. Penting
300 meter”
Jawabnya, setelah sedikit saya berkeluh kesah tentang
persyaratan berenang. Agak lucu dengarnya, karena bahasa Indonesinya rasa terjemahan
Google. Tapi bertemu calon guru sebelum hari-H, menjadi lebih menenangkan,
karena kita jadi tahu seperti apa karakternya, yang ternyata santai. Open
minded.
Tinggal latihan aja
nih, renang pakai snorkel, pikirku dalam hati
Tak berapa lama kami berpamitan, karena dia akan segera
boarding tujuan Singapore untuk pekerjaan.
---
Juni 2015..
Saya tidak akan membeberkan secara luas bagaimana proses
belajar mengajar Open Water Diver berjalan di dua kali akhir pecan bulan ini.
Tapi di sabtu pagi, aku, Risa, Dee dan empat students lain sudah berada di
dalam kelas di tepi kolam renang.
“OK guys. Saya harap tidak akan lama-lama di kelas. Semakin
cepat selesai di sini, semakin cepat kita practice di kolam” kata Pak Shane
memberikan penyambutan.
Dan benar saja, selasai bab 2 kami digiring ke pool untuk tes berenang terlebih dahulu.
Bagaimana hasilnya?
Berhasil! I did it! Ringan sekali rasanya berenang 300 meter
dengan peralatan lengkap. Dengan mengikuti petunjuk mas Gun, jikalau berenang
dengan menggunakan snorkel maka janganlah tangan juga ikut kamu gerak-gerakan.
Cukup kaki saja.
“Dari pangkal paha sampai ujung kaki” katanya
Saat tes mengapung pun terasa seperti sedang tiduran
terlentang di atas springbed. Anteng, hanya sesekali muka terciprat air dari
kaki teman-teman lain yang sepertinya susah sekali untuk ‘menenangkan diri’.
Bahkan terheran-heran, kenapa badan saya bisa setenang itu.
Yang mereka tidak tahu adalah, bahwa wetsuit setebal 3mm
itulah yang menyebabkan badan jadi terus floating. Jangankan 15 menit, 1 jam
juga masih bisa. Hahaha. Congkak.
Jika dive di Kadidiri satu tahun lalu aku hanya menerima
enaknya saja, jadi tinggal nyemplung ke laut, maka lain dengan sekarang. Kami
diajari langkah-langkah, per bagiannya secara mendetail. Tabung udara yang aku
kira isinya oksigen semua, ternyata lebih sedikit kandungannya dibanding
nitrogen. Tentu itu berhubungan dengan kapasitas paru-paru kita yang semakin
‘menyusut’ begitu sudah turun menyelam.
Cara memasang regulator ke BCD dan tabung lewat valve-nya. Namanya juga mengambil
lisensi, jadi harus benar-benar bisa mandiri. Seperti halnya ambil SIM mobil,
kalau menyalakan mesinnya saja tidak bisa, bagaimana nanti mau memasukan gigi?
Kan gitu. Ya, bisa sih kalau nembak, lha kalau di laut nembak gimana? Ketemu
Hiu, terus panik. Modar.
---
“Jadi sangat penting
ya untuk divers punya sertifikasi. Dan nanti kalau kalian sudah punya kartu
ini..” menunjukkan kartu PADI di depan kelas, “..kalian bisa dive bebas dimana
saja” terang pak Shane.
Dalam diving ternyata juga ada jenjang karirnya, seperti agen
asuransi. Itu ditunjukkan dengan banyaknya kartu yang ia miliki. Dari Open
Water Diver, Advanced Open Water, Resque Diver, Diver Specialities seperti
Underwater Photograper, sampai kartu puncaknya Master Scuba Diver.
Sudah berapa kali dive? Ribuan. Tak terkalkulasi lagi berapa
menit di dalam hidupnya ia habisakan bernafas di dalam air. Bukankah itu adalah
hal paling glorious yang pernah kamu dengar? Jika menilik sejatinya manusia
bermuasal dari cairan.
Catatan; si bapak ini pernah dive sampai kedalaman 100 meter.
Itu kan sepanjang lapangan bola sepak. Bikin rahang jatuh.
---
Sebelum turun ke dasar kolam renang, ada briefing terlebih
dahulu mengenai cara berkomunikasi di dalam air, yaitu dengan isyarat, menggunakan
jari-jari dan tangan kita sebagai kode. Termasuk juga saat memberitahukan sisa
udara dalam tanki di punggung kita. Mau ngomong juga nggak bisa kan, yang ada
air nanti masuk paru-paru. Bahaya.
Saat sudah sudah di dasar kolam yang dalamnya tiga meter itu,
entah kenapa intro lagu Come As You Are milik Nirvana berputar begitu saja di
kepala. Apa gara-gara video klip nya yang bernuansa air atau memang lagunya memiliki
efek psychedelic?
Aku merasa seperti dalam pemotretan promo album Nevermind
tahun 91. Jadi membayangkan bikin music video di dalam air, Alterego, empat
personil masing-masing membawa instrument, banyak gelembung udara, bergerak
melayang-layang dari sudut ke sudut kolam bagai mermaid, dan tentu saja yang tersulit adalah bagian drum.
Jadi ingin pasang insang.
Ada bunyi “tik tik tik” terdengar merambat lebih cepat ke
telinga. Ternyata dari aluminium stick milik pak Shane yang diketuknya ke
dinding tanki udara.
“Pay attention!” begitu kira-kira kalau diterjemahkan,
Ia memberi contoh bagaimana melepas masker di dalam air, dan
sekaligus regulator dari mulutnya. Lalu dengan tenang ia memakinya kembali. Aku
dibikin takjub. Bagaiamana mungkin?
Proses belajar di dalam kolam juga dibantu oleh Pak Bart,
sebagai asisten instruktur. Ia yang memegang kedua lengan saya, menenangkan
sewaktu panik saat masker sudah lepas dari wajah. Perih rasanya saat air
berdesak-desakan mencoba masuk ke mata kita. Ada sekitar satu menit. Tapi saat
kita mulai tenang dan fokus, semunya menjadi baik-baik saja.
---
“Dive itu tidak boleh sendiri, harus ada ‘buddy’”
Yes. Jika terjadi sesuatu yang tidak kita inginkan, maka
‘buddy’ lah penolong pertama kita. Misalkan jika kaki kita kram, dan tidak bisa
meregangkan sendiri, atau paling pahit kehabisan udara saat sedang menyelam,
maka untuk itulah buddy ada.
Ada dua selang regulator, satu yang kita pakai sendiri, yang
kedua yang kita selipkan di BCD. Nah, yang kedua ini yang akan dipakai dive
buddy kita untuk berbagi udara. Agak deg-degan juga saat mempraktekkannya di
kolam. Lalu bagaimana jika udara akan habis dan ‘buddy’ tidak di sekitar kita?
Itu ada tekniknya sendiri.
Dari ketiga bab pertama yang dipelajari. Satu yang
terpenting, dan mungkin inti dari scuba diving adalah Hovering. Literally
melayang, tanpa banyak ‘kicking’. Dan itu susah.
Seperti penjelasan dasar, daya apung positif, daya apung negatif.
Hover itu netral, seimbang tidak terlalu naik maupun tidak terlalu turun. Pas.
Karena semakin kamu banyak bergerak, semakin capat habis pula udara di tankimu
nanti.
Teori memang gampang, mudah. Tapi tidak dengan aplikasinya.
---
Akhirnya bertemu juga dengan Barakuda. Kapal kebanggaan
rakyat Tanjung Bara Dive Club.
Beberapa orang sedang memindahkan box keranjang plastik dari
gear storage ke kapal ketika kami datang. Jadi sebelum berangkat, peralatan
menyelam pun harus ready, terpasang, lalu ditaruh di perut kapal bersama dengan
gear penyelam yang lain. Begitu sudah sampai nanti, tidak perlu repot-repot
lagi.
Tepat pukul delapan, kapal bergerak menjauhi dermaga.
Perjalanan sekitar 45 menit, dan here we are, sampai juga di spot yang dituju.
Bengalon Reef.
Ombak yang besar, Barakuda jadi terombang ambing. Saking
parahnya bikin badan sempoyongan. Kepala muter-muter rasanya. Memasang weight
belt di pinggang, lalu menggendong scuba tank yang beratnya 15-an kilo itu
membutuhkan perjuangan yang besar sekali. Tidak ada yang tidak mengeluh.
Satu teknik terjun dari kapal yang aku dapat setahun lalu
saat dive pertama adalah Back Roll. Kita duduk membelakangi laut, lalu
menjatuhkan diri sambil memutar, kepala-punggung-kaki. Ternyata itu berlaku
jika sedang dive dengan kapal yang berukuran lebih kecil.
Dengan Barakuda, kita diajari untuk memakai teknik lain,
Giant Step.
Berdiri di salah satu sisi kapal, mengambil langkah paling
lebr yang kita bisa, masker dan regulator dijaga dengan salah satu telapak
tangan. Kemudian.. byur! Tahu-tahu sudah di bawah air.
Tapi sebelum turun, kita wajib ‘check buddy’ dulu. Dari
kepala sampai ujung kaki. Keran di bagian tank valve harus dipastikan sudah
terbuka, BCD sudah terisi udara dan lain sebagainya. Safety first. Karena,
pernah juga ada yang lupa memakai fins. See what I mean? Manusia kan tempat
salah dan lupa.
“Dan jangan lupa equalize sedari awal!” pak Shane
mengingatkan lagi.
---
Arus di dalam laut juga ternyata cukup deras. Kami bertujuh
berderet, memegang bentangan tali yang sudah disiapkan di pos pertama reef di
kedalaman 7 meter. Aku kedapatan dengan pak Bart untuk practice semua yang kami
lakukan di kolam kemarin. Setelah itu baru eksplorasi reef.
Bisa dikatakan, ini adalah pengalaman pertama untuk semua.
Maka jika fins tanpa sengaja menendang kepala teman, atau apapun yang ada
dibawahnya harap dimaklumi. Air jadi keruh karena butir-butir pasir naik
menghalangi pandangan. Itu biasa untuk divers pemula.
Selesai dive pertama, banyak yang tepar di badan kapal. Memegangi
kepala masing-masing. Terlihat pucat. Tidak sedikit pula yang muntah. Kami
officially berkenalan dengan Barakuda.
Di samping arus yang besar, saat-saat mengganti tanki udara
di perut kapal itulah yang semakin menstimulus otak untuk mengeluarkan isi
perut. Meskipun tidak sepengap bis kopaja saat jam pulang kerja, tetapi
hoek-hoek yang ditimbulkan lebih kejam. Tahu-tahu sudah di tenggorokan.
Setelah dive interval selesai. Kami turun lagi untuk dive
kedua. Ada satu kawan yang tidak ikut, karena perut sama sekali tidak berhenti
mual. Kasihan.
---
Di sabtu kedua, masih ada 2 bab teori yang harus
diselesaikan, dan setelah itu ada final exam. Ujian tertulis terakhir yang
terdiri dari 50 soal pilihan ganda.
Kelas lebih banyak membahas tentang dive computer dan
cara-cara penghitungannya. Ya, kasarannya dengan volume udara sekian, berapa
lama maksimal waktu dive kita dan terbatas berapa meter kah penyelaman kita.
Something like that.
“Dive safe ya!”
Berkali-kali Pak Shane mengucapkan kalimat itu. Selain
menawarkan ketenangan, dan keindahan tiada tara di bawah laut sana, olahraga
ini juga memiliki resiko yang tak kalah besar. Bahkan bisa berujung kematian.
Satu yang memiliki kesan angker untuk para divers adalah
Decompression Illness. Sakit dekompresi. Kalau aku membahas ini, nanti jadi
panjang sekali, jadi silahkan cari tahu sendiri jika tertarik.
Sementara itu Hovering juga masih menjadi subject utama.
Duduk bersila di dalam air seperti orang sedang bertapa itu susahnya bukan
main. Yang ada, badan malah berputar tidak menentu. Setelah itu, kami praktek
melepas dan memakai kembali weight belt dan juga BCD di dalam air.
Pelatihan di pool berjalan dengan baik. Mungkin karena sudah
tidak segagap minggu lalu. Final exam juga lancar jaya. Dari semua soal, hanya
empat jawaban yang keliru. Jadi secara teori aku sudah lulus.
Waktu bertemu Barakuda keesokan harinya, kami sudah
well-prepared. Sudah ada yang menenggak dua butir antimo, ada yang minum tolak
angin dan obat-obat lain yang sejenis. Fight against sea sickness!
Selain students, rupanya ada beberapa diver yang ikut juga
dalam kapal. Mereka ternyata lulusan institusi yang sama. Sangat welcome, tidak
enggan untuk menyapa dan berkenalan terlebih dahulu. See? That’s the point.
Selain ilmu dan pengalaman, kamu juga akan bertemu dengan teman-teman baru.
---
Di dive ketiga dan keempat ini, kami sudah menggunakan dive
computer yang berupa jam tangan. Kita bisa memonitor semuanya dari situ, suhu
air, kedalaman maksimal, kedalaman rata-rata, lama waktu penyelaman dan dive
interval. Canggih ya, otak manusia memang tiada duanya.
Data-data yang otomatis terekam di computer, nanti kita
pindkan ke diver’s log book. Tulis tangan. Jadi semacam buku diary menyelam,
untuk menuliskan sejarah bawah laut kita masing-masing.
Dan entah gara-gara hujan gerimis atau yang lain, tapi aku
merasakan view underwater kali ini lebih cerah dibanding minggu lalu.
“Kenapa nggak bawa bendera SLANK ya?” pikirku dalam hati.
Biar nanti aku tag Kaka di instagram.
---
Saat dive interval adalah saat dimana kita berkumpul di badan
kapal bagian depan untuk kemudian membuka bekal makanan masing-masing lalu
memakannya bersama-sama sambil berceloteh tentang makhluk-makhluk yang baru
saja ditemuinya di bawah sana. Setelah kira-kira satu jam, baru turun dive
lagi. Lalu pulang.
Kapal tiba di markas pukul satu siang. Seperti juga
minggu-minggu sebelumnya dan berikutnya. Begitu sudah merapat di dermaga, kami
berjibaku lagi untuk mengeluarkan dive gears dan tanki-tanki yang sudah kosong
dari kapal. Baru setelah itu kita bilas dengan air tawar sebelum disimpan
kembali ke storage room.
Peralatanmu adalah tanggung jawabmu. Itu yang kupelajari dari
sini. Dengan makna yang lebih luas, setiap orang bertanggung jawab terhadap
dirinya sendiri.
“Well done guys! Congratulations for the new divers!”
seseorang menyeru agak keras,
Lalu teman-teman baru kami disitu bertepuk tangan. Seru
sekali rasanya.
Pak Shane menyalami kami satu demi satu. Istrinya mengambil
pas foto kami masing-masing untuk PADI card. Dan dalam waktu tidak lebih dari
24 jam, kami sudah menerima kartu temporary-nya via email.
Kami menunggu sekitar 2 bulan untuk official PADI card-nya
sampai di Sangatta. Finally, aku punya sertifikasi juga my friends. Sebuah SIM
bawah laut, yang alam bawah sadarku menginginkannya sejak tiga tahun lalu. Aku
bahkan belum bisa mempercayainya sampai sekarang. Bagiku, ini adalah pencapaian
yang luar biasa. Merasa beruntung, dari yang hanya ‘stage diving’ olahraga-nya,
sekarang bertambah ‘scuba diving’.
Akhir kata. Bermimpilah sebanyak-banyaknya, semacam-macamnya,
biar nanti Tuhan yang memilih, kapan dan mimpimu yang mana yang layak untuk
diwujudkan.
Eh, ada pesan WA masuk, “Diving terus nih sekarang, jangan
lupa menikah!”
SGT, November 2015
---
Foto-foto bawah laut karya teman-teman:
nudibranch
semua pasti tahu nama ikan ini, mereka senang sekali main-main di karang elektrik