a l t e r e g o s e n s i t i f



 
Namanya Gunardi. Dari tampilannya sehari-hari sekilas memang lebih tampak seperti gangster Mexico di film Havoc daripada Sales panci atau kompor gas. Kacamata riben yang dibeli di pesisir kampus UNY, singlet ketat warna putih, celana jins biru merk Levis, ikat pinggang warna hitam yang didapatnya di emperan Malioboro adalah seragam luar dinas yang biasa dipakainya sore-sore setelah pulang dari nyé-les. Kecuali sandal Swallow, tidak ada yang berbeda jika kita sandingkan foto dari keduanya, oh iya, ia juga tidak bertato. Kita bisa melihatnya sedang nongkrong di pos kamling, lelaki berumur sekitar 30 an berperawakan Antonio Banderas jowo dengan perut buncit dan berkulit lebih cokelat. Sambil duduk, gigi taringnya tak henti-henti menggigiti batang korek api, sesekali ia terlihat menggaruki kumisnya yang lebat dan dari gitar akustik bersenar nilon yang sedang dimainkanya akan keluar alunan nada gitar khas Espanyola. Anak-anak kecil di kampung biasanya akan mengitarinya dan teriak-teriak, 



“mas gun mas gun! maneh thoo!!”
“mas gun! Nyanyi Nde Bagindas! Iso oraa??”
“ST12 mas gun!” “Armada!” “Armada Racun!” seru anak-anak cowok
“ST12 wes bubar!!” teriak salah satu anak kecil nggak terima
“7 Irons!” “SNSD!” “Abrakadabra mass!!” anak-anak cewek nggak mau kalah


Gunardi cuma tersenyum mendengar rentetan anak-anak yang rata-rata belum genap 7 tahun itu.

Anak kecil mana tau soal sawer menyawer, katanya dalam hati

Ia membakar sebatang Samsu yang tinggal separo dengan batang korek yang sedari tadi digigitinya lalu kembali memetik gitar bolongnya, melanjutkan melodi-melodi Spanyol-an nya yang beraroma cinta. Jadi ingat tokoh kartun tahun 50an dari Mexico Speedy Gonzales. Arriba! Arriba!

Tampilannya yang sangar itu ternyata berbanding terbalik dengan ruh didalamnya. Ia adalah seorang yang rendah hati, melankolis, mudah menyayangi, agak rapuh tapi juga berpendirian teguh. Sore itu 
setelah anak-anak kecil dipanggil oleh ibu masing-masing untuk mandi,

“terimakasih mas gun, sudah mau menjaga anak-anak..” kata seorang ibu muda
“sami-sami kembali mbak Fitri” jawabnya

Ia duduk sendiri, melepas kacamata hitamnya, dan oh.. ia menitikkan air mata, diusapnya dengan punggung tangan kirinya. Ada apa gerangan? Apakah ada anak kecil yang menakalinya? Menyinggung perasaannya yang rapuh?. Tidak.. ternyata ibu sang anak kecil tadi mengingatkannya pada mantan kekasih hatinya, yang pernah sangat dicintainya.

Slogannya yang terkenal di kampung adalah “anti kredit lifestyle!”, bahwa kredit itu menurutnya merupakan suatu sistem ekonomi yang seperti air beriak memanjakan namun keji. Dan parahnya prinsip hidupnya itu berbanding terbalik dengan pekerjaannya sekarang. Sebagai sales ia harus giat untuk menawarkan produk-produknya dari rumah ke rumah, door to door, window to window, mouth to mouth, heart to heart (Eaaaa. nggak sampai situ juga kali!)

“bu, pancinya buu.. bisa kredit kokk.. tidak berbunga..”

Begitu tawarnya suatu kali. Namun biasanya metodenya lebih elegan, ia akan membawa booklet berisi brosur-brosur bergambar panci dan kompor gas dengan berbagai jenis, warna, bentuk dan ukuran. Ada yang berbentuk kerucut, trapesium, jajar genjang sama kaki! (Ealah, iki panci opo trigonometri.. cah!). Dari pagi sampai siang ia akan berpindah-pindah, lintas kampung, lintas perumahan, lintas sektoral dan kelurahan. Mobile-nya juga cukup tinggi untuk kelas sales, satu hari bisa 3 sampai 5 perumahan terlampaui. Misalkan saja pagi jam8 sudah nangkring di perum Green Afrilia di daerah Gamping yaitu tepi barat Jogja dan jam9 sudah di daerah Blok O Janti, ujung timurnya.

Saat bertemu customer adalah saat-saat kita akan mendengar bibir kumisan itu berkicau dengan lincahnya, tata bahasanya terstruktur, gramernya juga tidak amburadul. Ia akan menjelaskan dari bagian-bagian panci, bahan yang dipakai, diameternya, sampai jaminan garansinya. Himpitan ekonomi memang terkadang membuat orang tak lagi peduli dengan prinsip yang telah dibuat dan dianutnya sendiri, asal bisa beli nasi dan lauk, prinsip ekonomi bisa diubah sesuka hati. ‘kredit atau ngutang asalkan kenyang’.

Di suatu siang yang terik, saat wangi parfum sudah menguap digantikan aroma kecut ketiak yang sudah bercampur dengan asap dari roda-roda bermesin, ia berhenti di depan pintu pagar besi berwarna biru, mengenakan seragam kebesaran, setelan jas hitam dengan kemeja putih, memakai dasi bermotif garis-garis miring 60° hitam abu-abu, membawa tas kantor, menyeka peluh di dahinya lalu memencet bel. Sekilas mirip pejabat MLM. Lalu memencet bel lagi, sedikit tak sabar sangking panasnya, dipencet lagi deh belnya,

Tak sampai dua menit, seorang perempuan di akhir era 20 annya dengan rambut dikuncir satu kebelakang muncul dari balik pintu garasi kayu, meletakkan gagang lap pel, agak terburu-buru menuju pintu gerbang besi warna biru. Beberapa detik kemudian terdengar teriakan perempuan kaget ‘AAAKKHH!!’ dibarengi bunyi ‘BLUGHHH!’ yang cukup keras, dentuman tubuh yang jatuh ke lantai itu cukup keras, perempuan itu terpeleset lalu terpelanting ke belakang. Gunardi yang dari tadi menunggu dibalik pagar ikut kaget, lalu berjinjit melihat ke dalam

“Masyallah mbak! Jambon!” Pekiknya tak sengaja melihat celana dalamnya

Sementara perempuan naas itu, bertelanjang kaki, masih ngangkang terlentang karena terjengkang akibat lupa kalau lantai keramik garasinya masih basah sehabis dipel olehnya. Posisinya seperti kura-kura dibalik. Punggungnya kesakitan hingga tak menghiraukan kalau mas-mas sales dibalik pintu itu melihat celana pink di dalam roknya. Ia merintih, mencoba bangun.

“aduh mas tolong mass... itu grendelnya di dalam.. pintunya tinggal digeser saja.. boyok saya sakit 
sekali.. tulung mas”

Sesaat kemudian rintihan itu menyadarkan Gunardi,

“astaghfirullah, mbak kenapa eh mbak?? “ sambil menggeser pintu besi warna biru, lalu masuk menghambur menolong perempuan yang jatuh sekitar 2,5 meter di depannya.

Gunardi membantunya berdiri, menopangnya di bahunya, berjalan sangat perlahan sampai ke kursi tamu di beranda depan pintu utama rumah, perempuan itu tanpa sadar melingkarkan lengannya ke pinggang Gunardi,

“kok bisa terpeleset seperti tadi kenapa mbak?” tanya Gunardi penuh simpati
“anu mass, saya lupa tadi habis saya pel, eh belum kering.. terus denger bel.. terus lari.. eh kepleset.. maaf ya mas, jadi ngerepotin..” jawabnya sambil ngurut bagian pinggangnya,
“lain kali hati-hati ya mbak..” nggak sadar kalau sebenarnya gara-gara dia juga yang berulang kali mencet bel
“oh ya, perkenalkan saya Gunardi” sambil menawarkan telapak tangan kanannya. Ini nih, kelebihan sales, percaya diri, supel abis!.
Perempuan ini menyalaminya, “saya Asih mas.. Gunarsih..”

Lalu mereka berdua tertawa bersamaan. Berpandangan sejenak, diam, lalu pecah tawa lagi. Keduanya tersipu-sipu, lalu dengan berat hati melepaskan genggaman tangan masing-masing. Sakit diboyok Gunarsih sudah jauh berkurang,

“duh mas, saya jadi malu nihh.. maaf yaa..”
“maafkan aku Asih, aku melihat warna mu.”
“warna??” tanya Asih
“Pink..” jawab Gunardi, singkat

Wajah Gunarsih jadi memerah makin malu, “duh mass. Oh ya Allahh..” seraya menutupi mukanya.

“beneran mass??” kali ini ngacak-acak rambut
“maka dari itu aku minta maaf.. beneran, aku benar-benar tidak sengaja..”

Gunarsih mengatur nafas, memandang ke bawah, lalu dengan percaya diri nengok ke Gunardi

“ndak opo-opo denk mas, kan nggak sengaja. Saya malah makasih banget sudah ditulungi. Sebentar yo, tak ambilkan minum dulu”

Gunardi jadi geli,

Tak berapa lama, Gunarsih muncul kembali dengan curl hair-nya yang dibiarkan terurai, ia sengaja melepas ikat karetnya, langkahnya dibuat seanggun mungkin ketika membawakan segelas sirup dingin diatas baki, mencoba memancarkan cakra-Sex Appealnya, dan itu berhasil. Senyumnya yang aduhai membuat Gunardi terpesona

“monggo mas gun.. diminum duluuu..”

Untuk kedua kalinya, kesadarannya disadarkan.

“oh iya mbak gun.. terima kasih” kata Gunardi,
“Asih aja mas manggilnya..”
“oh iya, hehee.. terima kasih Asih”

Gunarsih adalah perempuan rantauan asal Cilacap yang sudah sejak sekitar 1 tahun lalu jadi pembantu rumah tangga di keluarga Bu Bambang, di salah satu rumah di komplek perumahan Nandan. Dekat Monumen Jogja kembali. Hobinya adalah mendengarkan musik dangdut, Evi Tamala idolanya. Wajahnya yang ke ‘barat-barat’ an, dengan lubang hidung yang lebar, kalau dari samping profilnya cembung dan hidung sedikit mancung, pipinya agak chubby,matanya bulat seperti boneka beruang, tinggi sekitar 155 sentimeter. Dengan kombinasi seperti itu, sudah cukup membuat Gunardi kesengsem secara fisik padanya. Seorang tipikal pembantu yang polos, banyak bicara tapi juga banyak bekerja, rajin dan manut sama juragan.

“begini Asih, Ibu ada?” tanyanya,
“kebetulan Ibu belum pulang mas, biasanya sore selepas ashar.”
“oh iya, ini saya sebenernya kesini mau menawarkan produk peralatan rumah tangga, semacam panci dan teman-temannya.. tapi kalau Ibu nggak ada ya ndak papa..” terangnya sambil membuka tas kantor miliknya dan mengeluarkan beraneka brosur
“oh mas gun tu sales tho? Tak pikir ini anu mas dari multimarketing gitu.. tadi tu, kalau saya ndak kepleset sudah langsung mau saya usir lhoo.. hehe” canda Asih sambil melihat-lihat brosur yang disodorkan Gunardi
“iya, sales panci. Loh kenapa diusir?”
“iya mas, soalnya ngeselin e. Kebanyakan dandanannya ya kayak mas gun ini. Terus begitu duduk presentasi-presentasi gitu, kayak ngejual mimpi, tapi disuruh pinjemin modal dulu nggak mau, mana saya ada duit segitu banyak mas, buat ngirimin simbok di rumah aja pas-pasan. Ujung-ujung e mung njaluk wedang!” terang Asih dengan logat jawa kebarat-barat an nya (dibaca : Medok)
“hahahaa.. untung kamu kepleset ya tadi..” seloroh Gunardi
“lah kok malah diuntungin mas, ih jahat!” rajuk Asih
“hehe. Bercanda.. itu kualat namanya”
“abis Ibu nyuruhnya gitu mas, kalau ada orang datang jas-jasan kayak biasanya diusir saja.. kan saya nurut.. hehe”

Dan begitulah, obrolan itu bertahan sampai dua jam ke depan, Gunarsih lupa dengan lap pelnya, keringat Gunardi juga sudah mengering hingga akhirnya bu Bambang pulang. Dan juragan yang ditunggu-tunggu juga ternyata lebih tertarik nimbrung ngobrol ngalor ngidul daripada milih-milih gambar panci. Sore itu Gunardi pulang tanpa dagangan yang laku, melainkan nomer handphone baru,
Pertemuan mereka jadi intens, laku tak laku, Gunardi selalu menyempatkan diri untuk ke Perum Nandan,

“SIH ASIH AH!” begitu teriakan kodenya untuk memanggil dambaan jiwanya keluar kamar,

Senyum malu-malu masih menghiasi wajah keduanya saat bertemu, si Asih ngucel-ucel ujung kausnya. Dan Gunardi meniup-niup kumisnya,

“Aku ingin membawamu pergi dari sini” kata Gunardi
“iya mas?”
“Gembira Loka”
“mm.. ”
“kita naik Onta!”
“beneran?? kalau Gajah sekalian gimana mas?” tanya Gunarsih polos plus sumringah
“semunya kita akan naiki! Singa juga boleh!” jawab Gunardi asal
“mosok Singa bisa dinaiki?!” tanya Asih polos
“bisa donk, pulang-pulang kamu tinggal tulang! Haha”
“aku ijin Bu Bambang dulu ya, hmm.. ” pikiran Asih sudah pindah ke Kebun Binatang
“besok itu hari minggu, pasti boleh.” Meyakinkan kekasihnya

Pagi-pagi jam9 suara motor Astrea tahun 90an milik Gunardi sudah memberisiki udara perumahan. Di ujung jalan buntu sana, Gunarsih sudah menungguinya dengan setelan pakaian terbaiknya, ia terlihat memakai bandana plastik warna kuning. Gigi-giginya yang berjejal kelihatan membuncah menyambut sang pangeran panci dari negri Matador datang mendekat.

Ternyata kebun binatang nya sangat luas, Asih berjalan-jalan sambil menentang rantang berisi bekal nasi dan lauk. Ia melihat kudanil lalu bertanya pada Gunardi,

“mas gun, kenapa kudanil tidak dilindungi oleh negara?”
“karena dengan mulutnya yang lebar itu dia sudah bisa melindungi diri sendiri, negara mana bisa diandalkan akhir-akhir ini” jawab Gunardi sekenanya
“ohh..” Asih manggut-manggut

Mereka berdua terlihat asik mengamati hewan-hewan reptil, bermacam-macam katak dari yang warna merah sampai hijau, iguana, kadal, lalu melewati bagian ular-ular dari yang diameternya cuma 1 cm sampai 30 cm. Semua itu membuat keduanya terkagum-kagum, karena Gunardi juga ternyata baru pertama kalinya ke Gembira Loka. Kemudian mereka berjalan lagi, melewati kandang burung dan

“nah itu Onta!” seru Asih

.....

Entah mengapa untanya tidak mau jalan begitu Asih dan Gunardi naik di punggungnya,

“heran, biasanya nggak gini kok mas.. mungkin satu-satu dulu..” kata petugas yang jaga,

Lalu Gunardi dengan berat hati turun dari punggung binatang arab itu, ia perhatikan unta kurus itu berjalan lunglai diatas keempat kakinya yang tipis. Miris. Ia mengeluarkan Nokia 6600 miliknya dan mulai memotreti Asih bersama untanya.

“asih asih!” panggilnya,

Begitu Asih nengok ke bawah, Gunardi teriak lagi

“Cheers!”

Lihat Gunardi seperti paparazzi, siang-siang singletan sambil menenteng rantang kesana-kemari, nggak sadar hasil foto pada blur, ngejar-ngejar unta. Hari yang mulai panas tak digubrisnya. Asih sesekali melambaikan tangannya, sesekali juga jari-jarinya membentuk salam PISS ala Slanker. Dia senang sekali naik unta. Nah, giliran Gunarsih sudah habis, sekarang waktunya mas gun yang naik unta. Oh no.. hewan tua ini ngadat lagi, apa karena alergi kumis ya. Dengan tanpa rasa bersalah si unta ini melipat keempat kakinya dan mogok menolak berdiri. Alhasil Gunardi pun tak jadi naik unta hari itu, sia-sia juga tiket kedua, tak mengapa, yang penting Asih bahagia.

Mereka menghabiskan sisa perjalanan di kebun binatang itu dengan duduk-duduk di taman depan pintu keluar. Membuka rantang bekal  yang sedari tadi dibawa, sambil makan mereka tak henti-hentinya beradu argumen tentang mengapa si unta itu tak mau jalan jika Gunardi yang naik di punggungnya. Banyak spekulasi yang keluar, pertama mungkin si unta itu berjenis kelamin jantan, kedua si unta lesbian, ketiga si unta bosan. Lalu mereka capek sendiri berdiskusi. Hiburannya selain alunan lagunya Caca Handika yang diputar dengan volume maksimal dari pos Satpam adalah beberapa badut yang menari mengikuti irama dangdut, salah satu badut, terlihat tinggi kakinya hampir 3 meter. Pengunjung yang datang pun tak lupa menyawer, hiburan yang sederhana untuk kaum jelata.

Hubungan asmara mereka lancar, mesra, lebih intim, dunia serasa selebar panci, hanya cukup untuk mereka berdua tempati, sampai 3 bulan dan mas gun dipindah tugaskan ke Purwokerto selama 3 bulan juga. Pangkatnya pun naik, sekarang jadi Supervisor, Gunardi akan membawahi 5 Sales di sana,

“Aku akan selalu merindukanmu Asih, nantikan mas pulang..” pamitnya
Mata Gunarsih berkaca-kaca, “hari-hariku akan kembali seperti semula mas, membosankan.. cepat pulang ya mas gun..”
“iya Asih, jika nanti sudah cukup dana, aku akan menemui orang tua mu..”
“oh mas gun, kamu tahu aku selalu menyayangimu..” bendungan air matanya sudah jebol
“aku tahu, sampai ketemu 3 bulan lagi..”

Mereka berdua berpelukan dengan erat di tengah udara hangat perumahan. Gunardi pun akhirnya pergi meninggalkan senorita kesayangannya.

Minggu pertama adalah minggu terberat, sms dan telepon tak ada habisnya. Gaji bulan kemarin bagi Asih adalah jatah pulsa untuk menghubungi kakandanya. Tapi lama-kelamaan mereka mulai terbiasa, sesekali melepas rindu dengan sms, dan karena mas gun yang juga sibuk disana jadi kadang suka telat untuk membalas sms dari Asih yang jadi cukup jablay sepeninggal mas gun. Padahal mas gun juga sebenarnya rindu berat pada wajah ‘barat’ nya, mau YM-an, Asih mana paham. Ya sudah, cukup dengan melihat fotonya saja, akhir pekan pun mas gun tak pernah bisa pulang.

3 bulan berlalu..

Seperti lelaki normal yang juga pernah melihat film-film Indonesia atau FTV, Gunardi sengaja tidak memberitahukan jadwal kedatangannya. Buah tangan sudah di genggaman, ia akan memberi kejutan untuk Asih, gethuk Sokaraja kesukaannya. Ia mengendarai perlahan Astrea tuanya, tapi dari kejauhan sudah ia noticed ada pemandangan yang lain dari biasanya. Tumben ada gerobak bakso tongkrong di depan sana. Katanya dalam hati. Tapi kok nggak ada penjualnya. Tanyanya lagi.

Sampai depan gerbang, ia tidak lantas meneriakkan kode panggilannya kepada Asih seperti sedia kala. Ia sudah mematikan mesin motornya sebelum sampai pintu gerbang, karena ia sudah hafal siang-siang gini pasti Bu Bambang nggak di kandang. Ia sudah berada di pelataran, lalu mulai memanggil-manggil Asih seperti anak kecil mengajak temennya main. “asih asih! Asih asih” dengan nada jenaka, berulang-ulang. Sekitar 2 menitan Asih baru muncul agak terburu-buru dari balik pintu, rambutnya tergerai, wajahnya merah

“eh mas gunn... wah kapan disininya mass?? Kok nggak telpon atau sms dulu.. “ nadanya aneh, seketika merasa bersalah, campuran rasa senang ingin memeluk dan seperti ingin menghilang disaat yang bersamaan. Akhirnya ia berani mendekat dan mencium tangan mas gun. Pandangan matanya menyiratkan sesuatu yang salah telah terjadi.

Lalu tak berapa lama, seorang lelaki memakai topi coklat keluar mengikuti membawa baki. Mas gun masih belum mengerti, lelaki itu mendekat, mengulurkan tangannya untuk bersalaman,

“temennya Asih ya mas? Saya Anton. Pesen bakso sekalian nggak mas?” katanya sok cool
“oh mas yang punya gerobak di depan itu tho? Saya Gunardi. Pacar Asih” jawab mas gun
“loh? saya pacarnya Asih! Iya kan Asih?” kata Anton kaget, lalu menengok ke Gunarsih
“SAYA PACAR ASIH” Gunardi menegaskan, bibirnya mengeja perlahan
“SAYAH PACARNYAH ASIHH! NGERTIH?!” Anton tak mau kalah tegas, logat sundanya keluar
“begitu Asih? Sejak kapan tukang Bakso ini jadi pacarmu?” menengok ke Asih
“saya pacaran sama Asih sejak 1 bulan yang lalu!” Anton menoleh ke mas gun, nadanya agak tinggi
“katakan padanya Asih. Sejak kapan aku jadi pacarmu?” masih menengok ke Asih, nadanya lebih tinggi
“jawab dia Asih!” sambar Anton

Gunarsih cuma terdiam, berdiri tertunduk mematung, air matanya keluar perlahan membasahi pipinya.

“cukup sudah. Aku pergi! Silahkan kalian berdua pacaran” kata mas gun, jengkel, berbalik arah dengan cepat, ia membawa kembali plastik hitam berisi gethuk yang tadinya mau ia kasih ke Gunarsih.

“mas gunn!!”

Asih mengejar, dan berhasil merengkuh punggung mas gun pas di pintu gerbang besi. Ia memeluknya erat sambil terisak.

“maafkan aku mas gunn.. “

Mas gun terhenti langkahnya, ia menarik nafas dalam-dalam,
“lepaskan aku Asih” katanya tanpa menoleh
Asih masih terisak, mas gun setengah berbisik berucap
“lepaskan..”,
ia melepaskan diri dari dekapan Asih yang kuat. Asih terjatuh diatas lututnya, mas gun tanpa lagi menoleh menghidupkan motornya. Lalu pergi.
 Anton mencoba membantu Asih berdiri dari belakang, tapi tangan mungil itu menangkisnya,
“lebih baik mas Anton pergi juga dari sinii..” kata Asih pelan
“tapi Asih.. sayah cintah kamuh asih..” Anton merajuk
“tolong mas, pergi dan jangan pernah lagi berjualan di rumah ini..”, pinta Asih seraya berdiri.
“tapi Asih.. “

Karena Asih terus memaksa mengiba, akhirnya Anton berjalan dengan lemas keluar gerbang besi. Setelah menggerendelnya, Asih mengunci pintu dari dalam. Lalu tiba-tiba Anton berteriak dari luar,
“Asih! Mangkuk bakso sayah!”

......

Sesampainya di kamar kost, Gunardi membuka bungkusan yang tadinya ia bawa untuk Asih. Jancuk jiancuk! Ditusuk!. Hatinya berontak, sambil terus mengunyahi gethuk. Air matanya merembes juga akhirnya. Kenapa tukang bakso? Apa baksonya enak??. Ia benar-benar tak habis pikir. Asih ternyata tak selugu yang ia kira, apa karena sangking polosnya juga sehingga mudah dipropaganda. Tapi, bakul Bakso? Oh no. Aku ki kurang opo tho!?. Sore itu ia mengambil gitarnya yang sudah berbulan-bulan tak ia mainkan, keluar kamar menuju pos kamling di depan rumah.

Anak-anak kecil mulai berdatangan. Ia Spanyolan lagi seperti sedia kala. Dengan dua batang Samsu, menghabiskan senja dan usia yang terus bertambah tua. Asih beberapa kali mengirimi sms permohonan maaf tapi sama sekali tak ia balas. Ia teringat quote dari Johny Depp, aktor Hollywood favoritnya, if you love two different people at the same time, choose the second one. Becuase if you really loved the first one you wouldn’t have fallen to the second. Mas gun sudah tak lagi peduli, prinsipnya sebagai laki-laki dalam percintaan adalah ‘Sekalinya hati terluka, tak akan lagi ada kesempatan kedua’. Dan hatinya semakin terluka ketika ia merindukan Asih, tapi ia tetap bersikukuh pada pendiriannya. Untung di tengah kota nggak ada Unta,bisa-bisa pingsan ditengah jalan.

Sampai berminggu-minggu, bahkan berbulan-bulan berikutnya tak ada lagi kontak antar keduanya. Lalu di suatu minggu pagi yang mendung nasib mempertemukannya lagi Gunardi dan Gunarsih, Bringharjo lantai pertama, Los untuk suvenir dan bumbu. Gunardi sedang survei suvenir untuk sunatan anak bosnya, dan Gunarsih menemani Bu Bambang memilih-milih oleh untuk keponakan-keponakannya yang kebetulan berkunjung dari Semarang. Tepat di Toko Baskorso Souvenir, mas gun sedang mau mengambil boneka couple yang terbungkus dalam mika berbentuk tabung, pada saat yang bersamaan tangan seorang perempuan juga sedang berusaha mengambilnya, (eaaaaa)

“Mas gun..”

“Asih..”

Dua tangan beda pemilik itu sedang memegang benda yang sama, keduanya berpandangan, agak lama. Sungguhpun Gunarsih masih sangat menyayangi Gunardi, bahkan terlalu mengharapkannya kembali, begitu juga sebaliknya. Namun seketika itu, mas gun melepaskan pegangannya, kemudian berbalik, berlalu begitu saja tanpa sepatah kata pun keluar dari mulutnya. Asih untuk kedua kalinya hanya bisa melihat punggung yang lebar itu pergi menjauh.

Pertemuan itu masih terngiang terbawa sampai tempat tidur. Asih gelisah, menangis lagi, lalu gonjang-gonjing apakah akan menelpon Gunardi atau tidak. Mas gun yang juga sebenarnya masih terbayang-bayang wajah Asih di pasar tadi tak henti-hentinya memikirkannya, ia berusaha sekuat tenaga untuk menghapus bayangannya. Lalu satu panggilan masuk membuyarkan usahanya, ia diamkan sebentar handphone terus berdering, lalu diangkatnya,

“halo..” suara itu parau..

“sebenarnya...” terdengar suara ingus yang ditarik-tarik, nafas berat,

“selama ini aku tak sudi jauh-jauh dari sampingmu gun..” suara itu semakin nelangsa. Mas gun hanya mendengarkan, ia berkaca-kaca

“tapi mungkin yang kulakukan salah..”, iya kamu salah Asih. Jawab Gunardi dalam hati

“maaf mas gun.. aku terlalu berharap yang tidak-tidak..” tangis itu pecah, mas gun sibuk menata nafasnya,

“Asih.. mas sudah maafin kamu..” agak berat ia berbicara,

Percakapan itu terhenti sebentar, hanya suara isak tangis Asih dan suara nafas Mas gun yang terdengar beradu,

“minggu depan aku sudah harus berangkat ke Taiwan. Aku lulus uji jadi TKI..” lanjutnya,
“selamat tinggal Asih..” suara mas gun terdengar dikuat-kuatin untuk pamit,
“tapi mas..”

Telpon itu terputus. Pulsa Asih habis. Malam itu dihabiskan mas gun bersama John Mayer lewat tembangnya yang aransemen gitarnya bikin ‘nyiirrr’ di hati, The Heart of Life.

Kalau jodoh pasti kita akan kembali. Doa keduanya dalam hati. Terpisah.

-Artzex-


Trivia :
  • Beberapa kata seperti ‘sawer’ dan ‘anticredit style’ dicomot dari akun twitter-nya mas gun versi supir truk pantura di @masguntop
  • Mohon maaf jika ada kesamaan nama tokoh, tempat dan kisah. Cerita fantasi ini memang begitu adanya.
  • Dialog terakhir disadur dari petikan conversation di salah satu kaver mini album alterego, karya mas dalijo di @Dajilos

Categories:

6 Responses so far.

  1. damn gooooooood!!!!!!!!!!!!!
    dok you really2 have to make a book about your crazy tuought hahahaha

  2. jujur moco iki pengen misuh hihihihii..your just a fuckin awesome uber writter *astaghfirullah :D apik nov,,,bayanganku...critone digawe film,,,diputer sebelum konser tunggale alter ego....mesti keren...
    ndang digawe film e ya :D

    keep creative doct...! :D

  3. Rangers : matur nuwon mas bro
    Bagus : hahahaaa .. amin guss.. aku pingin e sih Bentang Pustaka sek nerbitke! (ngimipiii) haha
    princess_raia : hahaha ojo misuh2 naaa.. malaikat ki ra tau turuu hehe.. yo'i banget kuwii.. nuwon thank you yo saran ee :) .

  4. inggih,,,mboten misuh kok... :D
    i just amazed by the way you write...*mpe spechless meh muji ki,,hahaay

  5. Anonim says:

    Komedi dramatis... wakakaka... btw. asih dah Ken*u sama tukang baksonya blm ya? ahahahay

Leave a Reply