Pada dasarnya saya memang
menyukai music klasik, terutama untuk tempo-tempo Andante. Yaitu tempo dengan
kisaran 61-80 BPM (Beats per Minutes). Dulu ada satu program di Eltira FM Jogja
yang memutar komposisi-komposisi klasik selama dua jam penuh setiap paginya.
Karya-karya Vivaldi, Bach,
Mozart, Beethoven, Wagner, Bizet, Verdi, Dvorak dan kawan-kawan memantul-mantul
pada dinding kamar lewat radio HP yang saya colok ke stereo. Masa-masa itu
adalah masa dimana saya masih berkutat dengan Skripsi, atau kalau di Prodi
(Program Pendidikan) saya disebut KTI, Karya Tulis Ilmiah.
Apa yang sedang terjadi di tahun
2008 adalah, saya sedang ingin benar-benar bisa merasakan, apa-apa yang musik
klasik tawarkan. Dan bagaimana pengaruhnya terhadap kondisi psikis seseorang,
terutama ketika sedang cemas.
Pemilihan judul KTI kerap kali
menghambat penulisan KTI itu sendiri. Saking tidak nemunya, saya sempat
frustasi. Terisolasi, kemudian desersi. #halah. Lalu saya berpikir tentang
dimana minat saya, apa yang sebenar-benarnya berkorelasi dengan diri saya.
Hingga suatu hari, satu kata itu muncul di kepala.
Musik. Itu yang selama ini saya
dengarkan dan secara tidak langsung menemani pagi malam saya. Dan musik klasik
yang saya dengar di Eltira berhasil menyabotase otak kanan saya waktu itu.
Sebuah Telaah Pustaka mengenai
musik dan kecemasan pasien gigi yang tidak sengaja saya temukan di dapur Google
membuat lampu bohlam di kepala saya berpendar terang. Kenapa saya tidak
melakukan riset terhadap telaah pustaka itu? Musik klasik? Kecemasan pasien di
klinik gigi? Sounds perfect!.
Judul Karya Tulis Ilmiah
“Pengaruh Musik Mozart Terhadap Tingkat Kecemasan Pasien Dokter Gigi” tidak
membutuhkan waktu lama untuk mendapat Acc dosen. Pertanyaannya adalah, kenapa
saya memilih Mozart? Pernah dengar tentang istilah ‘Mozart effect?’? Yang
disebut-sebut bisa meningkatkan kecerdasan bayi?. Well, karya Mozart yang
fenomenal itu berjudul Sonata for Two Pianos in D Major. K.448.
Komposisi itu terdiri dari tiga movements. Saya mengambil bagian
keduanya, yaitu bagian Andante yang notabene memang bernuansa relaxing. Kegiatan berikutnya adalah
mencari-cari jurnal mengenai music
dan anxiety (kecemasan). Dan
pahitnya, dosen tidak menerima apa-apa yang bersumber dari Wikipedia. Saya
sampai harus terbang ke selatan, ke perpustakaan kampus Institut Seni Indonesia
(ISI) Yogyakarta. Untuk kemudian membuat kartu anggota, lalu meminjam buku.
Sonata sendiri dikomposisikan
Mozart waktu ia berusia 25, di tahun 1781. Kurt Cobain, diusia itu sedang
menulis lagu Heart-Shaped Box. Dan setelah itu saya baru tahu, ternyata ada Era
sebelum Classical yang disebut Baroque, dan Era setelahnya, yaitu Romantic.
Semua itu terjadi dikisaran abad 19.
Lewat Sonata ini D Major, 100
pasien gigi baru, ratusan lembar kuisioner, hampir 3 bulan penuh nongkrong di
klinik gigi milik dokter Kadir di daerah Krapyak, hasilnya tidak sia-sia.
Hipotesa saya tidak keliru. Berdasarkan riset, musik klasik (dalam hal ini
Mozart) terbukti bisa menurunkan kecemasan pasien di klinik dokter gigi. Juga
sejalan dengan isi Telaah Pustaka karya Eric Priyo Prasetyo, mahasiswa pasca
sarjana dari UNAIR, Surabaya.
Komposisi Andante (tempo yang
lambat) memang membuat relaks siapa-siapa yang mendengarnya, bahkan sampai ada
yang tertidur. Dan sekitar satu bulan yang lalu, kawan visual saya, Dalijo
memperdengarkan satu komposisi orchestra yang mengingatkan saya ke masa empat
tahun lalu. Komposisi itu berjudul Lamunan Senja. Di sepertiga awal lagu,
tiba-tiba saya seperti sedang duduk bersilah, sore-sore menjelang maghrib di
saung tepi sawah. Ditemani kopi hitam dan pisang goreng.
Nuansanya seperti mendengar musik
keroncong. Tetapi bukan. Seperti halnya komposisi Mozart, komposisi tadi hadir
tanpa alunan vocal. Tanpa lirik. Lalu track berikutnya menyambung Hujan dan
Pertemuan. Komposisi yang tenang dan syahdu awalnya, lalu agak gelisah di
bagian tengah. Hujan seperti menjadi backsound
pertemuan singkat dengan kawan lama yang dulu pernah istimewa di hati. Ia
mengiringi dari balik jendela ruang tamu.
Dalijo, dari Studio Mahati
membawakan saya CD berisi 4 track full, lengkap dengan headphone. Satu track
yang paling singkat berjudul Sky Sailor. Terdengar seperti scoring film, sebuah
adegan sepasang sejoli sedang bergendongan dan tertabrak ombak di pantai. Atau
bayangkan kereta api yang berlayar di tengah-tengah biru langit, menembus
gumpalan awan-awan putih di sekitarnya. Penjelajah langit.
Kemudian ia mulai bercerita
tentang composer-nya, si pembuat Musik Kereta ini. Lelaki yang masih berusia 22
itu bernama Gardika Gigih Pradipta. Alumnus ISI Jogja angkatan 2007. Dan satu
nomor terakhir yang berjudul Kita Kan Naik Kereta Yang Sama membuat saya
termangu sejenak. He’s definitely the
next big thing!.
Musik adalah gelombang suara.
Masuk ke telinga, melewati bagian-bagianya, kemudian oleh otak dengan proses
yang sangat cepat dan mengejutkan diubahnya menjadi gelombang listrik. Musik,
ia yang akan memberaikan adrenalin di pembuluh darahmu. Ia yang memicu
tersekresinya Endorphine dari batang otakmu. Do Re Mi Fa Sol La Si. Tujuh
pasukan yang mengerikan.
Diantara hingar bingar
band-bandan, raungan distorsi, teriakan lirik-lirik sakit hati, musik kereta
dari Gigih ini terasa seperti dewa penyelamat. Dan karena pada dasarnya saya
memang menyukai orchestra, saya ingin teman-teman juga ikut mendengarkan.
Menikmati. Meresapinya. Karena ia lah metafora yang sesungguhnya. Metafora
tanpa kata-kata. Yang meninggalkan banyak tanda tanya disetiap akhir lagunya.
Teman-teman bisa menyimpulkan
sendiri. Ya, banyak yang bilang Kita Kan Naik Kereta Yang Sama itu mewakili
jiwa-jiwa penghamba LDR-an. Pacaran Jarak Jauh. Uh, saya sih setuju saja.
Segala bunyi yang terekam disitu benar-benar bisa mengaduk emosi kejiwaan seseorang
yang sedang atau pernah dalam situasi LDR.
Jangan percaya. Cari tahu
sendiri. Unduh gratis musik dan video-nya di gardikagigih.com atau follow
@musikgigih di Twitter.
Oh iya, sedikit cerita tentang
konsernya pada tanggal 24-25 November kemarin di gedung Societet TBY, Jogja. Sebuah
kereta yang akan membawamu bertamsya keluar angkasa begitu kamu duduk di salah
satu seat gerbongnya. Watch it.
Nova Abdillah, penikmat musik.
Jogja, November 2012.
Categories:
mas bleh mnta referensi ga ttg pegaruh musik klasik terhadap kecemasan pasien di klinik giginya ?
mohon bantuannya