a l t e r e g o s e n s i t i f





Keinginan untuk berbagi, sebagai motivasi teman-teman kuliah seangkatanku dulu untuk mengadakan buka bersama di panti asuhan. Kala itu kami memilih panti asuhan khusus putri. Tentu semua penghuninya berjenis kelamin putri. Atas nama kesamaan nasib. Tanpa ayah, tanpa ibu, atau belum pernah bertatap muka sama sekali. Mereka yang berbeda asal, dan mengantongi masing-masing histori, akhirnya dipertemukan disitu. Siapa saja akan berpikir, ketika mengunjungi mereka, meski tidak lama, kata hati pasti akan mengucap kalimat semacam ini, kurang lebih “Betapa beruntungnya saya.. terima kasih gusti Allah..”. Sahur atau buka puasa masih ada kesempatan untuk berbagi meja dengan keluarga. Mereka tidak.

Sore itu mendung, sudah kepalang gerimis malah. Tentu yang tersibuk adalah sejawat kami yang cewek. Naluri keibu-rumahtanggaan (to take care of everything) mereka begitu besar. Bersinar. Yang cowok mah tinggal jadi supir, angkut-angkut keperluan (kadang juga cuma berdiri, mengamati), setelah itu duduk manis menunggu waktu halal untuk makan minum. Ada puluhan gelas plastik ukuran sedang berisi sup buah dengan kuah warna merah yang sedang diangkut keluar dari pintu belakang mobil. Snack menyusul belakangan, lalu yang terakhir adalah kardus putih berbentuk persegi berisi lauk pauk dan nasi. 

Pukul lima, teman-teman kita, para penghuni panti sudah memenuhi aula. Sementara kami mulai menggelontorkan makanan, mereka sedang dengan hikmat mendengarkan tausiyah yang diisi salah satu temanku. Seperempat jam menjelang maghrib, kajian berakhir, kekosongan waktu menjadi momok menjadi kita semua. Maka didaulatlah seseorang untuk menyanyi. Damn, mereka memojokkanku! Alhasil dengan gitar bolong pas-pasan saya akhirnya duduk di tepian lingkaran. Mencoba dengan keras, mengingat lagu pasar apa yang sekiranya aku tahu, syukur-syukur sedikit hafal, tanpa peduli mereka tahu atau tidak. Aha! I know it.

Maka mengalunlah, lagu ballad yang aku kira cukup popular untuk dinyanyikan di depan santriwati-santriwati dengan kisaran umur SD hingga remaja ini. U Smile, dari Justin Bieber. Awalnya terjadi ledakan tawa, karena vokalku keluar dari range nada. Man, gue bukan penyanyik!. Namun, begitu bagian song pertama selesai, tak ku sangka mereka ber-sing along
 
“Yu smaileee Ai Smaaaaileee.. wou wou uuwo uwo uu.. You smile I Smile.. Hey.. heyy.. heyyyyy!”

Lalu bagian song kedua, para santriwati itu sudah tanpa malu-malu lagi mengikuti lirik yang dinyanyikan. Sing along bagian refrain semakin keras. Aku tersenyum. Ketidak sengajaan ini. Sejenak aku merasa jadi Justin. Hampir lupa, bahwa akhir 2010 memang sedang Era Bieber Fever, jadi no wonder mereka begitu bersemangat untuk beradu suara.

Gemuruh tepuk tangan memenuhi ruangan ketika lagu selesai dinyanyikan. Ah, wajah-wajah ceria itu. Seperti tanpa dosa. Hanya bahagia. Mungkin jarang juga, atau sama sekali belum pernah mereka bernyanyi bersama-sama di suatu acara konser musik seperti remaja kebanyakan. Kemudian terdengar adzan maghrib. Saatnya berbuka. Sayang, aku tidak bisa menemukan dokumentasinya.

Kemarin sore, sembari menunggu buka puasa, aku memutuskan kembali untuk menyanyikan lagu ini, sekaligus merekamnya. Sedikit nostalgia. Sebuah pilihan yang sulit. Kelewat unyu malah. Tapi nggak papa, aku menyanyikannya lebih baik dari Justin. Silahkan dengar di sini!

Categories:

Leave a Reply