a l t e r e g o s e n s i t i f



I had never imagine, in my life, that someday akan terdampar di sini. Di salah satu pulau terbesar di Indonesia. Rasanya baru kemarin ibuku memasukan bermacam bumbu-bumbuan ke dalam ranselku untuk bekal di perantauan. Tapi sekarang sudah masuk bulan ke lima.

Tiga minggu lalu, tanpa disangka-sangka, datang tawaran dadakan untuk menggantikan dokter gigi di Sangkima. Kecamatan tetangga sebelah Sangatta. Aku membayangkan akses kesananya. 

Ada keraguan di awal, lalu kami berbicara di telepon.

"Nanti akan ada yang antar jemput mas.." Kata bapak2 dari pihak klinik. Mencoba meyakinkan.

Seumur-umur, secara formal, belum pernah aku diantar jemput, apalagi ada supir pribadi. So, here I am now, untuk tiga bulan kedepan sampai cuti melahirkan dokter yang aku gantikan berakhir. Melewati jalan tanah liat merah, satu jam berangkat, satu jam pulang, dari senin hingga jumat. Every morning. Every noon.


FYI, jam enam pagi di sini, gelapnya masih seperti jam lima-tiga puluh di Jogja. Di jam itu, Pak Tajib sudah berangkat dari Sangkima, dan jam tujuh touch down di Sangatta. Kemudian aku melompat ke mobil, berdua kita kembali kesana.

Pagi pertama berangkat kerja, hujan turun lumayan deras. Selain perut seperti dikocok non-stop selama satu jam karena jalan yang bergelombang dan penuh kerikil, jalanan juga jadi licin. Rasanya mau muntah, tapi belum sarapan.

Di beberapa titik jalan, kamu akan merasakan dua roda belakang automatically ngepot ke kanan dan ke kiri. Seperti mau berputar di tempat. Semakin bertambah kecepatan, akan semakin nyelip pula ban kendaraan. Jadinya kami hanya di kecepatan 30-40 km/jam.

So, you wanna learn how to drift? Seperti di Fast n Farious? Mulailah mengemudi di jalan ini.

Pak Tajib berasal dari Nganjuk, Jawa Timur. Hanya berbicara ketika ditanya, dan sekalinya bicara terkadang pakai bahasa jawa kromo alus. Aku jadi bingung meresponnya.

Setelah melewati jalan belah hutan itu tadi, kami akan berhenti di pos sekuriti. Tanya jawab seperti ini yang akan aku dengar setiap pagi,

"Mau kemana pak?" Tanya sekuriti
"Ini pak mau ke klinik nganter pak dokter!", jawabnya dengan bahasa Indonesia.

Sekuriti lalu menundukkan kepala melihat ke dalam jendela mobil. Mungkin dalam hatinya bertanya, 'mana dokternya?'. Yang ada cuma bocah tengik, berambut gondrong, ear-phone biru tertancap di lubang telinga, muka pesimis. 

Aku mengangkat telapak tangan kananku, stay cool dan sekuriti tersenyum ganjil.

"Silahkan pak.." Katanya sambil membuka gerbang.

Di balik gerbang, jalanan sudah berubah jadi beton. Halus. Melegakan sekali rasanya. Dan sekitar satu kilo dari situ, seiring hujan yang mereda, setelah perkampungan kecil, kami mulai memasuki area perumahan. 

"Kliniknya sebelah mana pak?" Tanyaku
"Nggeh niku mas, kulo niki mboten ngertos.." (Lha itu mas, saya ini nggak tahu..)
"Waduh, coba telpon pak sama yang ngasih tugas."

Penunjuk waktu di handphone berada di angka delapan, tepat satu jam kami di jalan. Pak Tajib sedang menunggu jawaban telpon, sambil menyetir lambat-lambat. Aku melihat dari balik kaca mobil yang kotor, perumahan yang sepi, bersih dan terlihat sangat alami. 


Kuturunkan kaca sedikit, udaranya masuk menyejukkan, mobil berjalan melewati kolam buatan yang dikelilingi rumput hijau. Di tepinya ada satu pondok kecil, cocok sekali untuk praktisi Yoga. Bersepeda juga akan menyenangkan, sambil mendengarkan kicauan burung di antara rimbun pepohonan yang menenangkan.


"Halo mas Jer, ini pak dokternya ditaruh di mana?" Tanyanya pada seseorang di telepon, memecah keheningan.

"Ya, ya. ini sudah di jalan Ulin, ke atas terus belok kanan ya.." Sambungnya lagi.

"Oke ini sedang naik, belok ke ka.. nan. Loh kok malah hutan pak??" Tanyanya semi-teriak, di telepon.

Aku tidak bisa menahan tawa.

"Ini lho mas, kulo niku disuruh njemput, tapi ndak dikasih tahu suruh ditaruh di mana mas-nya ini." Rentetnya kepadaku sambil putar kemudi, lalu balik arah.

Sepintas aku melihat bangunan putih, sendirian di atas bukit, bentuknya bukan seperti rumah penduduk.

"Mungkin itu pak tempatnya.." Kataku, sambil menunjuk ke atas.
"Oh iya itu kayaknya mas.. Ini belok kiri bukan ke kanan namanya"

Aku cuma tersenyum. Senyum jet lag. Another journey has begun.


---

Dua minggu kemudian, sistem pencernaan terganggu. Rasanya tidak karuan. Dan mencret di perantauan itu sangat tidak keren. Ah, ternyata tidak sekuat itu. Ibu, aku ingin pulang.

When the drugs was working, I felt like turning into a zombie. Sabtu malam, dengan badan lemas, merangkak aku menjangkau handphone. Agak lupa dialognya, tapi kurang lebih seperti ini.

"Halo.. Dengan mas Jeri? Anu mas, usus saya bermasalah.. Mungkin karena fakfor goncangan jalan juga, jadi seharian saya bed rest. Bisakah mobilnya diganti?"

I was sick, and I didn't know what to say. Tapi mas Jeri meng-iyakan, dan itu dianggapnya sebagai masukan. Kontraksi ususku mendadak sedikit reda.

Tapi hari selasa berikutnya ternyata masih sama. Jam dua aku akan menunggu di kursi tunggu resepsionis klinik. Lalu suara khas kendaraan ini terdengar mendekat,

"Itu dok, limosin-nya udah datang.."
"Apa mbak? Oooh.."

Kami tertawa kompak. Lalu aku berpamitan, berjalan ke arah pintu limo. Tiba-tiba pikiran ini muncul di kepala,

"Pak saya saja yang nyetir!"

Pak Tajib agak kaget, kemudian perlahan pindah juga ke seat sebelah.

"Oh iya pak.. Boleh2.." Jawabnya, sungkan.


Setengah jalan, si bapak yang suka pakai penutup kepala khas vokalis Jamrud ini tertidur. Mungkin sangking capeknya. Meskipun punggung sama-sama basah karena keringat, pinggang pegal karena shock breaker serasa mati, memegang kemudi ternyata tidak secapek jika jadi penumpang. Atau mungkin hanya perasaanku saja.

Semua bisa karena terbiasa. Dan makin kesini aku jadi semakin menikmati. Kaca mobil tanpa ray ban, panas matahari yang menembus celana, debu jalanan yang serupa asap, dan pak Tajib yang tidak tahan jika terpapar AC terlalu lama.


Sepanjang jalan pulang, jika jadi penumpang, kegiatan favorit adalah memutar lagu di iPhone dengan mode Shuffle All. Sementara pak Tajib menyetir, sambil sesekali menggaruk kepala. Aku dikejutkan dengan random list lagu-lagu yang terputar.

The Long And Winding Road-nya Beatles, yang membuat perjalanan terasa lebih panjang. Gadis Suku Pedalaman milik Morfem yang liriknya bikin geli,

'Ku spekulasi kau bercinta dengan gadis suku pedalaman, ku spekulasi kau terikat, dan akhirnya tiada mungkin untukmu pulang..'

Journey to The End, dari Rancid yang menjaga jiwamu agar tetap punk rock. Sakitmu Kebebasanmu, yang membuatku berpikir sambil melihat sapi-sapi makan rumput di kiri jalan, 'How could I scream like that?'. Damn, I miss Alterego.


Ada 15-20 tracks di setiap perjalanan tergantung durasi. Pearl Jam's Back Spacer salah satu yang terfavorit, selain album Love Bomb dari Navicula dan beberapa lagu The Cure. Pelan-pelan jadi lebih intim. Karena meskipun ngantuk, tapi tak pernah bisa tidur. Aku juga jadi hafal refrain Kou kou The Fisherman (Endah & Resha),

'Life is tough, yes it's tough.. But don't give up'


---

Jumat terakhir bulan februari, begitu limosin berhenti di depan rumah sakit di Sangatta, pak Tajib bertanya dengan ragu-ragu.

"Mas, ini (rumah sakit) cuma buat perusahaan, apa bisa buat umum?"
"Bisa pak buat umum.." Jawabku
"Kalau ada lowongan mas.. Bisa mas, buat nyupir atau apalah buat saya.."

Aku tidak menyangka arahnya akan kesitu. Tertegun sebentar, sebelum aku membuka pintu limo,

"Iya pak nanti kalau ada lowongan tak kasih tau.. Makasih ya pak, sampai ketemu senin"

Aku sedikit menyesal for being such an ass-wipe dan berperilaku manja beberapa hari sebelumnya. Setidaknya aku bekerja di ruang berpendingin udara. At least I got something to give back to community. Dan pak Tajib, dia dua kali lipat lebih lama dibanding waktuku di jalan itu. 

Obrolanku dengan seorang dokter gigi yang sudah 20 tahun malang melintang di tanah Borneo, pada akhir Januari. Kata-katanya masih terpatri di memori.

"Hidup itu, semua orang punya peran-nya sendiri mas. Menjadi dokter gigi, itu mulia sekaligus penuh tantangan. Secara tidak langsung, dengan keahlian yang kita punya, itu sudah bermanfaat untuk kehidupan. Istilahnya, mengabdi, melayani masyarakat yang membutuhkan. Jadi kalau niat kita baik, pasti akan ditemukan juga dengan orang-orang yang baik."

---


Bersama pak Tajib yang malu-malu serong kiri. Di bawah terik cuaca 39'C Sangatta yang menyipitkan mata. Di depan limosin kami berpose, berdiri.

---

Enjoy your Ride, your Road, and your own Journey. Greeting from East Borneo!

Categories:

Leave a Reply