a l t e r e g o s e n s i t i f



Aku memutarnya selama satu jam penuh, lalu setengah jam berikutnya, lalu satu jam berikutnya lagi sampai adzan dhuhur. Sepertinya aku malas betul untuk memindahkan pantatku dari depan laptop, bahkan sampai daun telingaku sakit karena tekanan headphone pun, jiwaku serasa belum terpuaskan dan seolah-olah seperti ingin terus men-play lagu ini, lagu yang Artzex tulis ramadhan tahun lalu.


Aku tidak ingin subjektif bahwa karena dia adalah teman baikku, sehingga aku begitu terkesimanya dengan salah satu lagunya yang berjudul Mungkin, tapi objectively this shit is fucking handsome!. Semakin sering kamu mendengarkannya semakin kamu akan menyukai lagunya.

“untuk trek nomer dua, mungkin kamu tidak akan langsung menyukainya, kamu harus mendengarkanya dua atau tiga kali dulu baru suka” terangnya padaku seraya memberikan CD alterego yang dibawanya.

Menurutku lagu ini sangat personal dan dari segi musikalitas, ini adalah pencapaian terbaik Artzex dan Agib selama mereka menciptakan aransemen lagu bersama-sama sejak masih remaja hingga tahun 2010 kemarin. Artzex menggambarkan lagu ini sebagai sebuah lagu patah hati yang megah dan tetap maskulin dengan lirik ‘nggrantas’. Opiniku lebih menyerupai persetubuhan antara John Mayer dengan Jewel lewat I Don’t Trust Myself dan Foolish Game.

Intro pembuka terdengar sangat sexy, bagian ini berisi petikan gitar yang melodis dibalut dengan sayatan string yang bulat mendayu-dayu seperti sedang gerimis. Komposisi ini memaksa kita untuk menjadi lebih impulsif, menggerakkan bahu perlahan penuh penekanan, kedepan lalu agak miring kebelakang dan serasa hanyut menuju ujung lautan. Coba resapi dengan mata terpejam dan feel the touch.

Saat melodi vokal masuk, Bagus menandainya dengan dentuman floor drum yang cukup keras. Kita tidak tahu kalau jatuhnya akan seperti itu. Maksudku, notasi vokalnya sungguh melenceng dari intro pembuka, dan itu adalah kejutan pertama. Coba dengarkan liriknya dengan perasaan, lalu berpura-puralah bahwa seakan-akan ‘aku’ di dalam lagu itu adalah kamu. Salah satu temanku dari Kairo yang mendengarkan bertanya padaku,

“apakah ini lagu tentang kehilangan keperjakaan?”

Haha. Darimana pemikiran itu? Aku tidak mengerti apa yang dimaksudkannya sebenarnya, tapi aku punya sudut pandang sendiri. Ini adalah tentang seseorang yang sebegitu parahnya telah kehilangan kepercayaan diri untuk mencintai, secara fisik maupun hati. Jaring laba-laba yang dirajutnya selama berbulan-bulan yang sudah mulai menebal dan terlihat kokoh, secara tiba-tiba lawan jenis yang dirajutkannya itu mengambil gunting lalu memotongnya secara brutal.

Sebenarnya kerusakannya tidak terlalu parah, tapi untuk beberapa orang terutama yang cenderung berperilaku pesimis, dosa-dosa di masa lalu akan segera terngiang kembali dan membiarkan saja perasaan sakit yang baru saja didapatnya tenggelam terlampau dalam. Ironisnya dia menyalahkan diri sendiri yang justru membuat dirinya semakin terpuruk karena merasa bersalah.

Kesalahanmu, membuka pintu.. tanpa sekalipun melihatku. Aku tidak melihatnya sebagai pelemparan kesalahan terhadap seseorang yang kita cintai, tapi suatu ungkapan kekecewaan karena dikhianati justru disaat kita merasa bahwa lawan jenis tersebut menyimpan perasaan hati untuk kita, mencintai kita. Pada bagian verse ini, kita seperti digiring menaiki anak tangga emosi yang lebih tinggi, distorsi mulai terdengar sesuai takaran, tapi lalu guyuran gerimis dengan bebunyian string yang lebih keras namun lembut muncul kembali, mengajak kita merelaksasikan sendi dan mendatarkan lagi apa-apa yang sudah meninggi. Kali ini dengan susunan chord dan suasana yang lebih mboys. Ha?

Entah sadar atau tidak, di bagian syair tadi Artzex seperti menyiratkan bahwa kita harus benar-benar tahu siapa orang yang kita bukakan pintu, apalagi melibatkan perasaan dan jiwa. Jangan sampai nanti berakhir menjadi suatu kesalahan. Fatal. Tapi bagaimanapun tidak ada yang perlu disesalkan.

Progresi yang mengejutkan lagi ada dibagian Terkadang kata-kata.. hangatnya bisa menyembuhkan, kau tawarkan pelukan.. hancurnya aku lagi!. Alunan bass yang harmonis, nuansa tone gitar yang  tak terasa telah berpindah ke Bm, echoes tuts piano yang berjinjit-jinjit dan sinkup-sinkup drum yang apik, mereka seperti berjalan bernyanyi sendiri-sendiri, tapi jika kita tarik garis diagonal, entah mengapa malah lebih terdengar saling melengkapi. Ah, indah sekali. Nada vokalnya pun lebih tegas, meski masih penuh harap semu, dan ketika pelukan itu benar-benar datang, meluaplah semua bendungan amarah. Teriakan pada kata ‘lagi!’ dibarengi distorsi gitar yang seperti menyalak adalah representasi dari hati yang sudah sampai di puncak tangga emosi. Sebuah teriakan parau yang nyaris sempurna untuk membuka Reff yang notasinya akan mudah dihafal oleh kuping-kuping Indonesia.

Percakapan di telepon, tanpa kita perlu tahu ekspresi muka lawan jenis kita, kadang-kadang lebih menghangatkan dari pada bertemu langsung. Kalimat di bagian Reff semakin menegaskan bahwa ‘aku’ disini tidak benar-benar yakin atas apa yang sedang dirasakannya, suatu kemungkinan yang cenderung mengarah ke sifat skeptis. Seperti halnya Artzex yang tidak percaya bahwa akan ada orang yang langsung suka begitu mendengar lagu ini.

Mungkin aku yang terlalu simpatis, tapi aku tak bisa.. selalu terkunci. Ini adalah suatu penegasan kemarahan, dengan progresi notasi yang perginya menyimpang lagi. Kalau kamu sudah menangkapnya, kamu akan sangat menikmatinya (perpindahan nada). Lawan jenis atau perempuan, jika ‘aku’ dalam lagu ini laki-laki, sebagian selalu tahu bagaimana memanfaatkan situasi hati yang membeku. Saat mereka datang lagi ke kita, biarpun kita sudah tahu ada orang lain (baru) yang secara status lebih jelas disebelahnya, kita tetap tersenyum menyambutnya, membuka pintu lalu membiarkan hati kita meleleh dibuatnya. She knew she needs him, she knew how to use him and he won’t refuse her. Pathetic!.

Aku bisa menangkap kegelisahan ‘aku’ disini lewat aku yang terlalu apatis, hingga aku tak mampu menyelamimu lagi. Interlude gitar Aziz yang menyusulnya, memberikan kesan grungy pada lagu ini disamping warna vokal Artzex dan semakin menguatkan pula kegelisahan yang saya maksud. Seorang yang simpatis itu telah berubah menjadi apatis. Terlalu banyak ‘mungkin’ dan pertimbangan, mungkin disini ia lupa bahwa apa yang ada dalam diri seseorang kadang tak seindah seperti yang bisa kita lihat lewat kasat mata. Dan mungkin juga Tuhan terlalu sayang padanya.

Kita adalah pelukis dari kanvas kehidupan kita sendiri, mau kita siram dengan satu ember tinta hitam yang kita punya lalu dibiarkan terlantar begitu saja, atau kita ambil kuas lalu men-cat-kan semua warna yang kita punya, mulai dari hijau, ungu, biru, oranye, merah, kuning sampai ungu sesuai keinginan kita, entah representatif atau tidak, asal kita bahagia saja. Kita bisa memajangnya berlama-lama di dinding kehidupan kita. Dan jika nanti tiba-tiba datang lagi orang lain menyiramkan tinta hitam atau bahkan merobek-robek dan membakar kanvas kita hingga tanpa meninggalkan sedikitpun warna, itu menandakan tidak semua hal di hidup ini bisa kita kendalikan.

Lalu kemarin aku dibuat merinding oleh sms dari rekan seprofesiku “By, merinding aku  ndengerin ‘Mungkin’ di Prambors..”. Have a good love n time anyone!.

-Dibby-

To Note : Here to Listen

Categories:

One Response so far.

  1. emang bikin mrinding pas denger lagunya. .

Leave a Reply