Adalah malam menjelang 29 Juli,
ketika saya sedang duduk mengetik di belakang dua musisi jenius. Mereka
sama-sama mengenakan setelan warna hitam. Berdiskusi, keduanya fokus pada
grafik warna-warni di layar monitor komputer didepannya. Saling memberi masukan,
tidak hanya sekali berdebat dan tanpa sengaja melangsungkan proses belajar
mengajar. Terutama bagi saya yang gaptek software
recording. Entah, merk apapun itu. Mereka berdua, ditambah sedikit saya
sedang menggodok mentahan anak jiwa Alterego yang bernama Whatever You Say.
Sebuah proses yang paling menyenangkan (menurut saya) dari semua tahapan
rekaman. Mixing.
---
Kembali ke pertengahan Februari. Komplek Studio Flow, Sawit Sari, Jogja. Bagus, sedang berada di ruangan 2 x 3,5 meter, ia duduk ditengah-tengah simbal, dengan berbagai macam diameter yang berdiri, berjejer, melingkar tidak beraturan. Tabung tom, floor, dan snare drum sudah berjam-jam menjadi korban keganasan pukulannya. Saya menyempatkan diri masuk ke dalam, dan tidak ada satu menit keluar lagi karena gendang telinga saya seperti mau pecah rasanya. Ia memukul benda-benda itu tanpa pandang bulu.
Di ruangan sebelahnya, dua
monitor kembar, sedang menayangkan grafik yang lebih menyerupai garis-garis Electro Encephalographic. Rangkaian
garis yang terus berjalan itu adalah data sound drum yang sedang terekam. Ronald
Wijaya, di depan monitor sibuk mengoreksi jika ada ketukan drum yang out of tempo. Whatever You Say, satu
diantara 6 lagu yang sedang direkam. Lagu ini sepertinya sudah dikuasainya benar,
ia hanya terpeleset pada bagian opening lagu. Selebihnya lancar seperti kereta
Taksaka. Menjelang maghrib, sesi rekaman drum berakhir. Menyisakan pemikiran,
kapan 10 lagu yang tersisa akan diaduk-aduk lagi dan kapan tepatnya album
tersebut akan segera dirilis.
---
Ya. Waktu memang sudah tidak
seluang dulu. Jauh saat saya masih remaja dulu. Tapi bolehlah, tetap bermimpi
seperti remaja. Biar tidak cepat tua. Akibatnya adalah, setelah recording drum
6 lagu tadi, empat bulan berlalu dan sepertinya belum ada tanda-tanda untuk
melanjutkan rekaman. Seperti dismotivasi. Tapi kami tetap aktif perform dari
panggung ke panggung sebagai band. Sebenarnya kami tidaklah ‘lupa’, penundaan
itu bagaikan dosa yang terus berakumulasi. Tinggal menunggu waktu saja untuk
nanti ruptur.
Karena selama 4 bulan tersebut
terus saja muncul wacana untuk menelorkan single terlebih dahulu sebelum
merilis album. Sampai pertengahan bulan Juli, ketika Agib sedang berada di
Jakarta, ‘dosa’ kami sudah terlanjur menebal, menyelemuti segala jenis perasaan
apapun. Saya berkontak dengan Bagus, via iMessage. Ia galau. Resah. Sekaligus
bersedih. Nah, itulah tanda-tanda orang yang berdosa. Apalagi memendam karya
terlalu lama. Saya juga sebenarnya tak kalah terbebaninya. Tidak, bukan karena
saya merasa bersalah terhadap orang lain, tapi ya itu tadi. Memang ini sudah
saatnya single itu direalisasikan.
---
Sabtu malam. Kami berempat atau
bertujuh, saya lupa. Duduk bersama di Beverly Hills (warung roti bakar).
Berembug. Serius. Dan benar hari minggu malam proses rekaman kembali berlanjut.
Lagu apa yang kami pilih?. Whatever You Say. Sebuah lagu yang ditulis Agib,
sekitar hampir dua tahun lalu. Lagu yang penuh semangat, semangat untuk
melakukan apa saja yang kita mau, yang kita yakini, tanpa mempedulikan apa kata
orang lain. Menurut saya pribadi, lagu ini, baik dari notasi maupun penulisan
lirik masih menjadi pencapaian terbaiknya sampai sekarang. Dan saya sangat
menyukainya.
Ada waktu dimana saat sedang bersosial.
Muncul pertanyaan, “mana lagu barunya?”. Dan ketika saya memperdengarkan demo Whatever
You Say, ekspresi wajah yang terbentuk kemudian rata-rata sama. Amazement. Notasi seperti lagu anak-anak
dan catchy. Dan mereka mulai
menirukan suara bindeng saya. Tiba-tiba saja sudah hafal liriknya. Itu tanda,
tanpa penyangkalan, mereka juga menyukainya.
Saat rembug belia di Beverly
Hills tersebut. Selain bergosip, kami juga memikirkan siapa yang akan mengisi
gitar, rhythm maupun lead. Tidak mungkin saya, selain sedang kurang
mumpuni juga jelas kami ingin suasana yang berbeda dengan debut mini album
pertama kami. Akhirnya pilihan jatuh pada Elang Nuraga, gitaris muda dengan
permainan blues yang mempesona.
Selain sudah beberapa kali ikut
perform live Alterego juga, ia juga semangat sekali ketika diminta untuk take
gitar Whatever You Say. Permainan gitarnya berhasil mempesona kami semua, baik
saat rehearsal maupun perform terutama saat Alterego iseng-iseng ikut kompetisi
Wrangler beberapa waktu lalu. Permainan dan style-nya mengingatkan saya pada
Eross Candra.
Proses guitar recording minggu
malam itu berlangsung di G-8 Studio. Di kediaman Agib. Saya tidak bisa
mengikuti karena ibu meminta saya untuk pulang ke desa. Buka bersama. Family time. Oh, I always miss home
(malah curhat personal). Dan ketika saya mendengarkan hasilnya,
Damn! He’s fuckin’ good!
Sound gitar yang sangat Fender
dan lebih crunchy. Memang itu yang
kami cari, diferensiasi. Berbeda dengan rilisan kami sebelumnya. Dan pada saat sampai
di tahapan solo gitar, saya mengulanginya berkali-kali. Berkali-kali pula
tersenyum sendiri. Sebuah lead yang cute, tegas, skillful dan terdengar seperti bernyanyi. Istilah pop-nya, Elang
Nuraga banget deh!. Sekali lagi saya katakan ; dia memang benar-benar bisa
bermain gitar. Kalau tidak percaya, tunggu saja debut album bandnya rilis. The
Finest Tree.
---
Sehari setelahnya, via WhatsApp
saya mendapat pesan dari Agib,
Bung.. besok malam take vokal jam 7 di 13. Farid sudah oke.
Saya menelan ludah. Setengah jam
setelah berbuka puasa. Tempe kemul barusan masuk tenggorokan saya. Sisa-sisa
minyaknya pun masing menggenangi bibir.
Woh.. Besok malam ini??
Mau pakai excuses apapun, jatuhnya
akan tetap besok ini vocal recording.
Malam itu juga Agib re-take bass untuk lagu ini. Yang
menurutnya kurang maksimal. Tetapi setelah didengarkan lagi, ternyata malah
lebih ‘nggetih’ yang awal take. Sehingga, ia terpaksa take bass lagi untuk yang ketiga kalinya. Untuk urusan rekam merekam
instrumen, kemampuannya memang sudah tidak diragukan lagi. Jadi mau berapa
kalipun hasilnya tetap magnifacent.
---
24 Juli, sore jam lima saya baru
tiba di Jogja. Sebelumnya, di rumah, saya sudah teriak-teriak sedikit.
Pemanasan. Dan entah kutukan atau apalah namanya, selalu saja saya tidak enak
badan ketika akan rekaman vokal. Begitu membuka pintu kamar di Jogja, mendadak
hidung saya jadi mampet dan tenggorokan terasa gatal. Dan minyak, selamanya
akan menjadi musuh saya saat rekaman.
Adrenalin mengucur deras memenuhi
pembuluh darah. Sesaat setelah adzan isya dan berbuka puasa, saya berkendara ke
utara. Melawan angin dingin musim panas. Ke jalan kaliurang kilometer 10. Sweater
dua rangkap. Kaus tangan wol, kaus kaki tebal dan sepatu. Saya tidak mau tepar
sesampainya di studio. (rodok lebay sih
emang, rapopolah. Sithik).
Muka saya masih merah karena
pembuluh darah di pipi yang tiba-tiba dilatasi. Dan mas Dani (frontman Captain
Jack), yang sudah berkali-kali menjadi vocal director saya, agaknya paham betul
gelagat yang saya tampilkan.
“Flu pho kowe?? Waaah!” Serunya.
Bekerjasama dengannya memang
bukan hal baru tetapi selalu tetap menyenangkan. He’s like, he knows everything about us. Beruntung bagi kami,
disela-sela kesibukannya promo single terbaru Captain Jack, yaitu Kupu-kupu
Baja, beliau masih ada waktu untuk Alterego.
---
Mulailah saya menulis lirik,
untuk saya dan juga mas Dani. Sempat terjadi perdebatan tentang kata-kata di
bagian refrain. Saya, Agib dan Bagus
sama-sama di depan monitor. Mendengarkan preview
aransemen yang sudah jadi. Dan tepat pukul sembilan malam, rekaman vokal baru
dimulai. Sambil menunggu Farid, dan karena bagian saya yang akan direkam
dahulu, maka tidak ada salahnya kalau saya mulai berlatih. Teriak-teriak mengencerkan
minyak yang menyelimuti plika vokal saya.
Kencur. Tanaman itu yang dulu
biasanya disarankan untuk saya makan mentah-mentah oleh kawan baik saya,
Astrida. Vokalis band hardcore Jogja, Throughout. Baik sebelum pentas maupun
rekaman. Memang manjur untuk mengencurkan minyak, tapi sayangnya malam itu saya
lupa. So, berpasrahlah saya kepada Tuhan yang maha esa.
Ternyata tidak begitu sulit
ketika kamu sudah berkali-kali menyanyikannya, baik di studio maupun saat
pentas. Memang harusnya demikian, pengulangan. Dengan begitu kita tidak akan
kesulitan dalam hal menjiwai sebuah lagu. Dan lagu ini, dari segi notasi memang
tidaklah rumit untuk dinyanyikan. Kami sepakat untuk mengambil bagian refrain
dulu, bagian yang teriak-teriak. Kemudian merambah bagian Verse, disini saya
harus bernyanyi dengan cara yang kalem. Lebih sulit, karena emosinya juga harus
terasa. Yuki, manajer kami, sedang sibuk mengabadikan proses vocal recording
ini. Dan ketika mas Dani bersuara,
“Oke Tse’ boleh keluar. Bagianmu
sudah selesai!”
Itu adalah kelegaan yang tak
ternilai harganya.
---
Suara mobil tua terdengar merapat
di halaman studio 13. VolksWagen kombi berwarna biru pupus. Tak berapa lama pintu
studio terbuka, ternyata sang empunya VW tua tadi itu adalah mas Farid. Farid
Stevy Asta. Kembali ke sekitar tahun 2009 ketika awal-awal saya berkenalan
dengan Farid. Ia datang ketika band saya waktu itu, Illegal Motives perform dan
begitu juga saya kadang datang saat Jenny, band-nya waktu itu perform. Saling
mendukung. Saling mengagumi (duh.. malah koyo homo!). Saya ingat betul ketika
ada event di studio Pengerat, tiba-tiba Farid menarik leher t-shirt saya masuk ke lingkaran dan
mereka sudah memainkan intro Smells Like Teen Spirit. Jadilah malam itu saya
dan Jenny ber-jamming ria. Teen Spirit rasa New York City Cops. Well, it was really fun.. and FREE.
Anehnya, hampir dalam waktu yang
bersamaan kami berdua sudah berada dalam band masing-masing dengan nama yang
sudah berbeda pula. Saya di Alterego dan beliau di Festivalist. Kata hatiku
mengatakan, bahwa dua nama tersebutlah yang sebenarnya mewakili apa adanya
kami.
Dari yang awalnya hanya sekedar
wacana. Obrolan basa basi saat bertemu di gigs, akhirnya menjadi sesuatu yang
bisa dikatakan serius. Saat perilisan mini album Alterego yang pertamapun
beliau hadir. Disitu muncul percakapan-percakapan,
“wah suatu saat kita harus
berduet. Biar kayak duo racun!”
Dan benar, Alterego + Farid
pernah membawakan salah satu lagu Festivalist di acara Prambors. Waktu itu yang
dinyanyikan adalah lagu Mati Muda. Selesai perform, saya dan Farid mulai
obrolan wacana yang lain. Mengenai kemungkinan kami berdua akan berbagi microphone
dalam satu lagu. Alias saya berkolaborasi dengannya dalam salah satu lagu
Alterego, yaitu Whatever You Say.
---
Bagi saya, ini adalah dreams came true. Baginya, ini adalah
pelunasan hutang. Dan saat ia masuk ruang rekaman vokal, mulai menarik nafas
dan mengeluarkan suaranya, saya semakin menyadari sesuatu. Adalah mengapa
lagu-lagu Jenny (atau Festivalist sekarang), bisa terdengar begitu anthemic dan memicu rindu. Entah sedang
dalam state of galau atau ‘rusak dan
ditinggalkan’, penjiwaan Farid begitu memukau.
Rekaman ini bisa dikatakan
spontan, kami sekalipun tidak melakukan rehearsal terlebih dahulu. Setelah saya
menuliskan dua rangkap lirik. Ia pun menuliskan versinya sendiri. Memang ada
satu baris lirik yang ia rubah, yaitu penambahan ‘buang waktu saja’, yang
jadinya seperti ini :
Orang bilang main band buang waktu saja..
Tapi yang penting ku bahagia..
Jadinya, memang saya lebih
menyukai versi lirik yang ini. Wasted
lyric for wasted people, like us!. Secara personal saya memang nge-pans
sama do’i. He’s a great lyricist. Sampai-sampai,
pernah saya mengirimkan pesan singkat untuknya pagi-pagi buta.
‘Dude. What the fuck is in your
brain?!’
Kalau kalian tidak percaya,
cobalah saat ini juga, dengarkan albumnya Jenny yang Manifesto. Dig the lyrics!. Maka ketika ia mau
menyanyikan lagu Alterego. Itu menjadi suatu kehormatan besar bagi kami, bagi
saya yang juga Festivalist. Ya, lagu Whatever You Say memang menjadi ada unsur
ke-Farid-Farid-an. Dan itu bagus, caranya bernyanyi dan karakater yang keluar,
itulah yang saya harapkan. Saat prosesi rekaman pun, ia seperti orang kesetanan
karena terus saja menari.
Di bagian tengah menjelang
refrain terakhir lagu Whatever You Say akan ada conversation. Kami menyebutnya dengan,
‘When Seattle meet London’
Lidah saya yang, katakanlah ke-amerika-amerika-nan
dan lidah Farid yang ke-british-british-an. Memang menjadi kombinasi yang penuh
percaya diri. Tidak apa lah, sekali ini saja saya mendurhakai logat Wonosobo saya
yang pol-polan dan dia mendzolimi sendiri logatnya yang sangat khas Wonosari. Cukup
‘nggrantas’ bukan?. Haha. Perpaduan dua lidah pegunungan, ya jadinya tetap
nggunung, untung tidak ngapak. But wait,
basic musik kami, kalau saya, tidak
dipungkiri lagi, pengaruh Seattle Sounds sangat liar membajak sistem limbik
saya. Tapi kalau mendengar lagu-lagu yang ditulis Farid di Jenny maupun
Festivalist, akan sangat kentara sekali influence
band-band Britishnya. So, it is true, Nirvana meet The Libertines.
---
Dan teriakan WHATEVER YOU SAY
terakhir. Yang kedua vokal kami ditumpuk menjadi satu. Itu adalah tanda rekaman
vokal kami sudah selesai. Hasil mentahannya menurutku sangat memuaskan. Saya
pulang ke Wirobrajan. Farid kembali ke peraduan di Wonosari. Meninggalkan Agib
dan mas Dani di teras studio 13. Kami akan kembali lagi bertemu tanggal 28 Juli
untuk melakukan editing (mixing).
---
Tak terasa, hari sudah berpindah
ke tanggal 29 Juli. Hari minggu. Dua musisi jenius tadi, Agib dan Momo (mas
Dani) sesekali membalik badan ke belakang. Meminta pendapat. Bagus datang satu
jam menjelang jam reguler sahur. Kantuk saya mendadak hilang ketika hasil
rekaman itu sudah jadi. Well, as always,
it’s a great record. Kerja keras kami tidak sia-sia. Satu minggu = satu
lagu. Awesome!.
Satu hal yang saya serap disini.
Energi yang begitu besar, seperti mau meledakan kepala. Berkolabasi dengan dua
musisi hebat tadi, memang memberikan suntikan power tambahan. Excitment,
dalam proses mewujudkan Whatever You Say, menjadi dua kali lipat lebih dahsyat.
Jelas, semangat untuk memperdengarkan ke Egosentris menjadi semakin kuat. And I thanks for that.
Akhirnya kami pulang dengan
membawa hasil rekaman, karena apa yang terdengar di speaker studio kadang
berbeda dengan apa yang kita dengan di personal speaker. Bisa jadi akan ada
revisi. Tapi biasanya revisipun, hanya sekitar 10% dari total keseluruhan hasil
rekaman. Seperti kata mas David Naif, “Bikin sesuatu jangan mikir duitnya dulu,
yang penting senang melakukannya, pasti hasilnya asik”. Well, that’s all I can share. Have a grunge day eveyone!.
-Artzex-
Categories:
ALTEREGO
and now, we are waiting your colaboration in gigs :D
Kerjasama yg baik dan luar biasa, keren ;) live performnya kmrn jg keren bgt ditambah mas farid bernyanyi melawan rasi bintang nya, ditengah2 lagu whatever u say, sungguh selaras sekali