Aku belum pernah
menuliskan sesuatu yang berbau keluarga sebelumnya. Hmm, maksudku secara
eksplisit. Terlebih aku bukan semacam pengamat lingkungan yang baik. Tetapi
setelah bertahun-tahun ini. Bertahun-tahun sebelum aku disekolahkan di
kabupaten, setiap tahun semua yang kulihat masih sama. Kebiasaan orang-orang
disini, apa yang sudah terbentuk, bahkan mungkin jauh sebelum aku lahir. Tidak
berubah. Hanya saja gurat-gurat penuaan di wajah orang-orang yang selalu
kutemui setiap tahunnya semakin bertambah. Tetapi hangatnya masih sama, orang-orangnya
maupun suasananya, meskipun ditengah-tengah suhu dingin dalam rumah yang sampai
kiamat nantipun tidak akan lebih dari 15° C. Semuanya
masih membuatku bahagia. Dan ini adalah hari raya ketigaku, yang kami rayakan
tanpa bapak.
H-1
Orang tuaku adalah
pencampuran pria asli dataran tinggi dan wanita tulen dataran rendah. Sehingga,
mungkin wajahku masih terlihat ke-kota-kota-an sedikitlah. Bahkan sering kali
orang menyangka, aku berasal dari Jakarta atau Sumatra. Terus ngopo?.
Hari sebelum hari
perayaan adalah hari dimana sebagian besar orang, terutama mereka yang tinggal
satu kecamatan denganku. Dari desa yang berbeda-beda akan turun ke kota. Menuju
kabupaten, dimana apa-apa yang mereka butuhkan akan terpenuhi. Sudah bukan
rahasia, jika kami, ya mungkin kalian juga memiliki habit yang sebenarnya
buruk, namun justru disitulah yang membuat semuanya menjadi lebih mengasyikan.
Penundaan. Seperti
halnya sholat. Aneh rasanya kalau tepat waktu. Memutuskan untuk menunda
sesuatu. Dimepet-mepetin. Bulan ramadhan itu tepat 30 hari, dan orang-orang di
desaku, lebih menyukai mulai belanja kebutuhan di H-3. Bahkan ada yang H-1. Entah
karena rejeki baru turun di pagi hari saat H-1 atau memang disengaja. Maka, jadi
memadatlah, pasar induk dan swalayan yang berdiri berhadap-hadapan di pusat
kota. Ya, karena memang hanya disitu
kotanya. Semua terlihat hectic. Orang
dan kendaraan menyemut. Jalan raya, yang memisahkan kedua bangunan juga dialih fungsikan
untuk parkir sepeda motor.
Para pelajar SMA
yang berseragam pramuka, diawasi bapak-bapak Polisi dari bawah tenda terlihat
sedang sibuk membantu mengatur lalu lintas. Misalnya, menghentikan kendaraan
bermotor ketika orang-orang, dengan belanjaan dan ketergesaan mereka masing-masing
akan menyebrang jalan. Bukan sesuatu yang mudah untuk dilakukan, apalagi
ditengah terik matahari dan tanpa bayaran duniawi.
Dan di H-1 itu
juga, aku sudah tiga kali ini mengantar adik perempuanku masuk ke dalam pasar
induk. Menuju tempat perbumbuan, setelah sebelumnya pergi toko jual beras. Ayam-ayam
yang sudah disembelih dan ditelanjangi lewat begitu saja didepanku. Tanpa dosa.
Dan yang jelas, karena ini Indonesia, copet itu selalu ada dimana-mana. Ketika
berjalan memasuki pintu utama pasar induk, nasib buruk menimpa salah satu
pengunjung perempuan. Ia menangis dan kebingungan karena dompet merah yang
berisi semua lembaran nominal yang ia persiapkan untuk belanja hilang dari
dalam tas. Tas itu sobek teratur, teriris cutter.
Aku cuma bisa menarik nafas panjang dan semakin hati-hati dengan saku celanaku.
Kau tahu,
orang-orang di desaku adalah orang-orang yang penuh gengsi. Terutama jika
menjelang hari raya seperti ini. Untuk anak kecil mungkin mereka hanya
memikirkan pakaian baru dan sebuah dompet warna-warni yang nantinya dipakai
untuk menyimpan uang lebaran pemberian paman-paman dan bibi-bibi mereka. Tetapi
untuk orang dewasa, apa yang tersaji di ruang tamu dan meja makan, mereka
(bagaimanapun caranya) akan menyuguhkan yang terbaik untuk tamu-tamu mereka,
meskipun perekonomian keluarga sedang limbung. Aturan itu tersirat, sahih,
berlaku, terutama untuk keluarga-keluarga yang sudah dituakan. Dan itu harga
mati.
Kebutuhan dapur
memang krusial. Selain turunan terjal, dan jembatan yang sebelah kirinya adalah
jurang. Ada dua pusat kecamatan yang harus aku lalui jika berkendara turun
gunung menuju kabupaten. Dan keduanya selalu dipadati oleh orang-orang
bersarung dan ibu-ibu dengan kain jarik. Belum nanti bis-bis mikro yang
nongkrong berjam-jam di tepi jalan. Kendaraan roda dua memang menjadi pilihan,
terutama yang metic. Biarlah angin
dingin menusuki tulang asalkan bisa menghindari kemacetan.
Dan untuk
orang-orang itu, selalu saja ada yang harus dibeli. Seperti ibuku misalnya, di
H-1 ia akan meributkan banyak hal yang dirasanya masih saja kurang, seperti
jajanan-jajanan basah untuk ditaruh di meja tamu. Selain makanan, yang
diributkan adalah tata ruang tamu, meja tempat makan besar, dimana para tamu
yang datang silaturahmi akan duduk ketika makan dan karpet warna apa yang akan
dipasang di ruang tamu.
Setelah akuarium
selesai dikuras, dipasangkan penerang warna biru. (Heran, ikan-ikan itu masih
bisa bertahan hidup). Tak berapa lama adzan maghrib berkumandang, disusul
gelombang suara takbir yang menyalak, tabrak menabrak di udara. Terutama
lengkingan tak berdosa anak-anak kecil yang takbiran. Dan itu menjadi penanda
bahwa puasa ramadhan telah berakhir. Semua orang bersuka cita, di depan
rumahku, sedang ramai anak-anak kecil yang lain, menyulut sumbu petasan
masing-masing dan bersorak-sorai ketika petasan itu meledak. Pekat langit malam
menjadi lebih indah, berhiaskan warna warni letusan kembang api.
Aku keluar
sebentar, berbincang-bincang dengan teman lama. 10 menit aku kembali lagi ke
dapur, duduk di depan tungku perapian. Satu hal yang menyegarkan dan sekaligus
kubenci disini adalah udara yang keterlaluan dinginnya. Aku tidak tahu
bagaimana di Islandia tetapi udara disini memaksaku membungkukkan badan dan
berulang kali ke kamar mandi.
Hari H
Ibu biasanya tidak
tidur sampai pagi. Adik perempuanku menemani sampai lewat tengah malam. Adik
laki-lakiku pergi takbiran bersama teman-temannya. Aku sendiri, tepat pukul 11
sudah tertidur. Hari H dimulai pukul 4 pagi, sebelum subuh, gema takbir masih
menghiasi udara desa. Berwudhu menjadi hal yang menakutkan. Water heater dirumah sedang mati. Aku
mengutuk betapa dinginya air ketika sudah menyentuh kulit wajah.
Oke, baju
empat lapis, celana jeans, kaus kaki tebal, peci, dan sarung. Kami berdua, bersama
adik laki-lakiku, membawa kitab Yasiin keluar rumah setelah adzan subuh. Nyekar
bapak. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana ibuku, setiap pagi setelah sholat
subuh (jika tidak berhalangan), sejak dua tahun lalu, selalu mengunjungi
kuburan bapak. Suhu di luar bisa jadi 5°C, atau kurang,
jika lebihpun pasti sedikit, tidak pernah menjadi alasan untuk mangkir. Ia akan
duduk disekeliling gundukan tanah itu, tak mempedulikan angin pegunungan dan
membacakannya surah yasin.
Tapi saat hari
pertama lebaran, kuburan pasti ramai. Mendadak menjadi terang, karena
kebanyakan peziarah juga membawa lampu penerang. Kuburan itu memang dipakai
oleh penduduk dari tiga desa yang berbeda. Selesai membaca surah yasin,
berdiri, membalik badan dan, oh.. sebaiknya aku tidak mendiskripsikan panorama
yang baru saja tertangkap mataku. Berterimakasihlah pada smartphone yang aku
bawa. It’s the first surprise.
Aneh rasanya jika
sudah satu bulan tidak sarapan normal, dan sekitaran jam enam pagi kita bisa
menyeruput teh panas lagi. Puji-pujian kepada Tuhan dan Rasul-Nya terdengar
nyaring dari masjid. Kedua perempuan dirumahku, pukul setengah tujuh sudah
berangkat terlebih dahulu. Aku masih menunggui air dalam teko yang aku panaskan
mendidih. Demi apapun, aku tidak berani mandi air dingin. Biarlah, kalian boleh
menyebutku pribumi yang tidak membumi. Tapi pernah, dulu waktu aku masih duduk
di kelas dua SMA, temanku yang sekarang sedang study di Perancis liburan
dirumahku. Ia dan satu temannya aku tinggal bermain PlayStation dikamar, aku
pamit pergi mandi. Seperti biasa, aku memanaskan air dulu untuk mandi. 20 menit
kemudian, aku kembali ke kamar.
“Udah selesai
mandinya?” Temanku bertanya.
“Udah.. sana
gantian mandi..” Jawabku. Tenang.
Ia, dengan percaya
diri mengambil handuk yang aku sodorkan masuk kamar mandi. 30 detik. 40 detik.
1 menit. Terdengar suara gayung digerakan, mengambil air di kolam dan..
Byurr!!
0,08 detik kemudian..
“Bajingan!”
Pekikan itu cukup
mengagetkan, seperti tertahan. Terdengar juga suara kaki yang entah melompat
atau menjejak-jejakan kaki di kamar mandi, hampir bersamaan dengan seruan
pekikan tadi. Suaranya seperti jeritan perempuan yang tak sengaja terpergoki
sedang buang air kecil.
Byurr! yang kedua
lebih heboh. Lantai keramik kamar mandi seperti bergetar, dan entahlah segala
macam jenis caci maki ia teriakan. Kali ini tidak ada jeda 0,08 detik. Tapi
bersamaan air bak mandi ketika mengaliri tubuh.
Aku dan temanku.
Dikamar bermain PlayStation saling pandang. Tersenyum. Lalu tertawa.
Dan melanjutkan pertandingan Winning Eleven kami. Begitu ia kembali dari kamar
mandi,
“Kowe mau adus kok
tenang-tenang wae tho Tse?! Iki ngawur tenan banyune sumpah!!!” Seperti tidak
terima.
“Oh. Aku mau
nggodok banyu sek Fad! Rapopo. Pengalaman!” jawabku setenang mungkin.
Nah. Itulah salah
satu alasan mengapa aku tidak pernah mandi air dingin. Bahkan di daerah asalku
sekalipun. Dan tepat pukul tujuh pagi, aku berangkat ke masjid. Masjid utama
terletak di tepi jalan, aku tidak masuk terlebih dulu, tapi tetap bertahan di
trotoar. Menunggu sunrise yang sinarnya
perlahan sudah menyelimuti ladang-ladang kentang di perbukitan yang
mengelilingi desa kami. Tetapi jadi dari kejauhan, puncak Sindoro sudah tampak
bersinar keemasan.
Cukup lama aku
berdiri di trotoar, bersama sepupu dan teman di masa sekolah dasar. Pak kyai
masih memberikan ceramah, kemudian disusul pidato kepala desa, disusul lagi
pengumuman tentang seberapa banyak infak yang terkumpul sepagi ini. Sinar matahari
pagi sudah terasa menyengat, kami melindungi kepala kami dengan sajadah. Ya,
panas disini memang kering dan tidak baik juga jika terpapar terlalu lama.
Pak kyai ini,
istilahnya adalah sesepuh yang paling disepuhkan di desa kami. Beliau sudah
menjadi imam masjid bahkan ketika ibuku baru menginjakan kaki di dataran tinggi
ini. Bapak kyai haji Abdul Fatah, di masjid Sunan Fatah. Dan ketika suara
rentanya sedang memberi edukasi ulang tentang tata cara sholat ied dan lafadz
niatnya, kami segera berhamburan ke dalam masjid.
Sholat ied-nya
memang hanya sebentar, tetapi acara pre
dan post-nya yang memang agak lama.
Setelah pembacaan bermacam-macam doa dan kami meng-amini, acara berikutnya
adalah salam-salaman sebagaimana mestinya. Jamaah pria dan wanita terpisah.
Petani kentang memang luar biasa, jabat tangan yang penuh semangat dan powerful. Bagian luar tanganku, diantara
jari telunjuk dan ibu jari sampai dibuatnya biru.
Pagi setelah Ied
adalah pagi dimana orang-orang yang berumuran muda seperti saya ini akan
langsung pergi bersilaturmi ke siapa saja di desa ini, terutama sanak family.
Rumahku ada di RT I, dan tepat dibelakang rumahku ada sungai kecil yang
memisahkan dinding belakang dengan ladang pohon buah karika.
Semua jenis masakan
sudah tertata rapi di meja makan. Almarhum kakekku memiliki anak 10, beberapa
diantaranya sekarang sudah mempunyai cucu, dan almarhum bapakku adalah anak
nomer 4. Bapakku juga mantan kepala desa, jadi biasanya selalu ramai oleh
saudara atau tetangga-tetangga sekitar. Karena pernah menjadi orang satu dan
sudah dituakan. Dan pagi ini, ibuku ‘memaksa’ semua keturunan dibawah bapakku
untuk makan bersama di rumah.
Apa yang sekarang
nangkring di meja makan rumahmu? Ditempatku seperti ini,
Kau bisa melihat, udang
goreng tepung, cumi-cumi yang dimasak dengan tintanya, ada potongan daging
sapi, babat, sayuran apa itu namanya, rica-rica énthok, stick daging ayam yang digulung dengan telor. FYI, menu dipastikan
akan berubah di hari kedua. My mom, she’s the best chef in the universe. Aku sedikit bingung juga
karena hampir semua lauk di meja makan tadi sudah berpindah ke piring. Anehnya,
itu semua tidak pernah berhasil menggemukkan badanku. So, welcome to cholesterol world!.
Sebagian duduk-duduk
di dekat meja makan. Dan kami yang masih belasan dan duapuluhan duduk
mengelilingi tungku dapur sambil mengobrolkan apa saja, secukupnya. Sepupuku
yang mudik mengendarai sepeda motor dari Surabaya adalah sangat selo sekali. He’s a strong young man. Ada juga yang mudik dari Jakarta. Ya,
mereka sudah bukan anak kuliahan lagi. Sekarang adalah masanya adik laki-lakiku
dan umur-umur dibawahnya. Mereka yang masih suka berkeliaran dibekunya malam
dan menantang bengisnya terik matahari siang disini.
Dengan mengenakan baju
koko hitam pemberian AMC dan peci, dimulailah acara utama hari ini. Muter-muter
silaturahmi. Penduduk desaku, kalau ditaksir, kira-kira berjumlah 3000-an dan
hampir semuanya saudara. Kadang kala, jika kita berkunjung ke sebuah rumah dan
tidak mampir ke rumah yang disebelahnya, maka itu adalah suatu kekeliruan.
“Mas, yang ini belum!”
serunya suatu waktu.
“Emange sopo iki?”
“Ini masih
sodaraan. Dia itu menantunya anaknya adiknya simbah yang nomer tiga..” Kata
adik perempuanku waktu itu. Aku cuma melongo.
Dan untuk
menyambangi kesemuanya, seharian tidak akan cukup. Selain panas itu tadi, kaki
juga pada suatu titik akan merasakan capek. Maka, hari ini kami memutuskan
untuk bersilaturahmi ke rumah-rumah yang ‘seperlunya’. Saudara-saudaraku,
seperti perayaan tahun lalu, selalu mengeluh jika mengikuti langkah kakiku. Aku tidak tahu,
mungkin karena kerabat almarhum bapak yang begitu banyak, sehingga seolah-olah
aku harus menjaga benang tersebut agar tidak kusut lalu putus. Tapi hari ini,
aku mengalah, demi kebersamaan kami yang sedarah. Aku bisa pergi hari
berikutnya. Setelah sungkem dan mencium kedua pipi orang tua masing-masing, mulailah
kami berjalan. Bersebelas. Dan itu belum termasuk adik-adik kami yang lain,
sepupu-sepupu dan keponakan kami yang lain, mereka membentuk grup sendiri untuk
muter-muter. We’re just a big family.
Aku tidak tahu
bagaimana adat atau cara berlebaran di daerah lain. Karena sampai umurku 25,
hari pertama idul fitri aku selalu disini. Dan ketika sampai di rumah Budhe, jangan
harap beliau mau kita salami atau sungkemi, sebelum makan ketupat + daging sapi
+ bumbu kacang + kubis godhog-nya yang sudah tersedia di meja makan. Setiap
tahun menunya tidak berubah. Ya, hari pertama lebaran memang kita bisa sampai 7
kali makan besar.
Cara kami sungkem
pun, mungkin sama juga dengan di tempatmu, tapi inilah yang paling khas disini.
Istilahnya ‘bekti’ atau berbakti. Selalu, berhadapan dengan orang yang akan
kami sungkemi, kami membungkuk, melipat kedua kaki bertumpu pada lutut, kepala
kita bungkukan serendah mungkin, sambil kedua telapak tangan tertelungkup dan
mulai mengucapkan doa permohonan maaf. Kepada siapa saja, terutama yang lebih
tua. Tentu akan terjadi antrian yang panjang, dan itu adalah pemandangan yang
biasa saat idul fitri, apalagi di kediaman pak Kyai.
Di jalanpun, kenal
tidak kenal kami akan saling tersenyum dan saling bersalaman. Hari pertama,
pagi hari, yang berkeliaran biasanya masih penduduk desa asli. Nanti agak
siang, menjelang sore, orang-orang dari luar desa akan mulai menginvasi desa
kami. Bis mikro berhenti dan turunlah, kelompok bersarung + berpeci dan
berjilbab + berjarik. Masing-masing dengan rokok dan kinangnya sendiri-sendiri.
Cuaca yang cerah bersahabat, semakin mendukung perayaan kami yang sederhana
ini.
Yang menarik.
Jujur, sebenarnya dari dulu sampai saat ini, aku masih belum tahu apa yang
semestinya aku ucapkan ketika sedang sungkem. Tapi untuk menimbulkan kesan
meyakinkan, biasanya aku mulai dengan melafadzkan,
Anguudzubillahiminsyaitoonnirajiimm.. disusul dengan bismillahirrahmaanirrahimm..
Lalu dilanjutkan
kalimat blur yang pada intinya adalah
‘meminta maaf atas segala kesalahan yang telah dilakukan’. Ketika kita
mengucapkan dua lafadz suci tadi, biasanya yang kita sungkemi, bibirnya sudah
ber ‘amin.. amin.. amin..’, lalu tiba-tiba kita berhenti. Ada jeda sedikit.
Kecanggungan yang sakral. Lalu, bergantianlah, segala macam kalimat pengampunan
dan doa meluncur dari beliau-beliau. Dan ketika kalimat doa sampai pada ‘semoga
rejekinya tambah lancar dan semakin didekatkan jodohnya’, maka volume ‘amin’
menjadi dua kali lipat lebih keras.
Sekali lagi.
Bolehlah kalian menyebutku pribumi yang sama sekali tidak membumi. Dan selalu
akan ada awkward moments, atau bahkan
bisa dikategorikan silly di setiap
hari perayaan. Pernah, di lebaran tiga atau empat tahun yang lalu. Aku
berpamitan pada sepupuku, aku belum mengunjungi salah satu nenekku (adik kedua
almarhum nenek kandungku). Aku masuk ke sebuah rumah, bertanya pada orang-orang
yang sedang duduk di depan perapian. Yang tak lain adalah keturunannya. See,
semua saudara bukan?.
“simbah onten?” / “nenek
ada?” tanyaku. Agak terburu.
Mereka malah
tersenyum. Ada yang tertawa. Aku bingung.
“simbah wes ora ono
le.. tahun wingi..” / “nenek sudah tiada nak.. tahun kemarin..”
“oh..
Astaghfirullah..” / “..Innalillahiwainnailaihirajiuun..”
Dimana aku waktu
itu?. Tapi mereka manggut-manggut maklum,
“iya memang masih
terbawa suasana kok..”
Aku cuma bisa
ber-hehe..
“nggeh sampun..
pareng rumiyen..” / “oh iya kalau begitu tak pamit dulu..”
Terasa awkward
lagi, ketika kita sudah lewat di depan rumah orang yang sebenarnya ‘perlu’
untuk dikunjungi tetapi kita lebih memilih untuk tidak masuk ke dalamnya.
Katakanlah ia sangat mengenalmu dan keluargamu. Lalu, sore harinya, sepasang
suami istri pemilik rumah yang kita lewati tadi mengetuk pintu rumah kita, dan
kitalah yang membukakan pintu. Bertanya,
“Ibu ada?”
Penyesalan kadang
datangnya di akhir, ‘mengapa aku tidak langsung tidur saja tadi??’. Damn.
---
Perayaan memang
lebih sering dipertemukan dengan hal-hal menyenangkan. Namanya juga merayakan
kemenangan. Jarak tempuh kami bersilaturahmi itu bisa dikatakan jauh jika
disambung-sambung. Dari ujung barat sampai ujung timur, belum jika ke utara,
melewati jalanan bebatuan ke rumah salah satu nenek yang masih ada. Kalau kau
memperhatikan cuaca lagi, disitulah Tuhan sekali lagi ingin menunjukkan
kebesaran dan kasih sayangnya. Kepada umatnya. Ya kami memang dengan senang
hati merayakannya.
Selalu juga ada
jajanan favorit di setiap rumah yang kami kunjungi. Baik itu basah atau kering.
Sambil menunggu yang lain sungkem, (kalau aku pribadi) aku akan mengamati
deretan stoples dan nampan-nampan kecil diatas meja, menilik isinya, jika ada
yang antik, pasti akan berakhir di lambung.
Nasib jika ada yang
berpacaran dengan salah satu anak dari tuan-nya rumah yang kami kunjungi. Pasti
akan habis dikerjai. Dan kamerapun, semakin gencar mengabadikan momen menarik
tersebut.
Begitu keluar rumah, aku bertemu dengan salah satu saudara jauhku
yang sudah sering masuk Tv. Kalau kalian mengetik ‘bocah gimbal’ di searching box Google, pasti yang
kebanyakan nongol adalah muka anak ini.
Dari rumah-rumah di
tepi jalan. Kami menuju utara lagi, di lereng bukit, agak mendaki. Dari depan
halaman rumah yang baru saja dikunjungi, kita bisa melihat lansekap desa dengan
lebih jelas. Atap-atap rumah disini yang lebih memilih seng dari pada gendhéng. Semua tahu alasannya kenapa, karena seng bisa membuat rumah menjadi
lebih hangat. Dan betapa hamparan bukit itu semakin penuh dengan ladang kentang,
minim pohon-pohon besar. Sindoro seperti selalu hadir dimana-mana, menemani
setiap langkah kami. Matahari sekarang tepat di atas ubun-ubun, lewat
sengatannya, ia memberi tahu kami bahwa hari sudah menginjak pukul 12 siang.
Rencana memang
tinggal rencana. Kenyataannya, meskipun kita sudah membatasi kunjungan, yaitu
ke rumah-rumah yang ‘perlu’ saja, tetap saja, rasa tidak enak hati mengalahkan
rasa pegal di kaki. Perhentian kami selanjutnya adalah di rumah paman yang
rumahnya bersebrangan dengan masjid. Disana, kami semua mendapat banyak petuah
dan nasihat. Entah kenapa, walaupun ia berbicara kepada kami semua, pandangan
matanya, sepanjang lidah itu merangkai huruf-huruf menjadi kalimat bijak,
selalu mengarah padaku. Akunya yang salah tingkah. Mungkin karena aku yang
paling tua.
“Pasangannya kok
nggak dibawa pulang?”
“Kalau kamu sudah
punya penghasilan, biarpun sedikit.. segeralah menikah!”
“semua mulai dari
nol, jangan nunggu kaya, percayalah.. dengan beristri, kamu akan menjadi
manusia yang lebih bertanggung jawab..”
Matanya masih
menatapku. Saudara-saudaraku yang lain cekikikan. Aku jadi ingat kejadian, tadi
di salah satu prosesi sungkeman, ketika aku sedang takzim meng-amini
doa-doanya. Sempat-sempatnya, orang tua ini berhenti, dan bertanya
“wes ndue bojo
durong iki?”
Aku mendangak.
Tersenyum. Ia menyimpulkan sendiri.
“oh yowes, nek
durong, tak dongakna mugo2 didekatkan jodohnya..”
So, prayer of the
day adalah ‘semoga didekatkan jodohnya’. What more can I say? Unless.. AMIN.
Bersilaturahmi ke
rumah orang, karena saking banyaknya. Kita tidak bisa lama-lama. Begitu masuk,
kita langsung sungkem, duduk sebentar berbasa basi tidak ada setengah menit,
langsung berpamitan. Pindah ke rumah sebelahnya. Tidak bisa dihitung juga
berapa kali kita melipat kaki, bertumpu pada lutut, mengantri, juga berjalan
dengan lutut. Tapi, tua itu pasti, dan pada saatnya nanti kita akan berada
diposisi yang disungkemi. Dan yang lebih menenangkan, sebagai individu yang berlumuran
dosa, doa sapu jagat, jauh lebih enak untuk didengarkan. Puji Tuhan, hampir
semuanya mengucapkannya ketika kami sedang sungkem.
“semoga selamat di
dunia dan akhirat..”
Sejenak, aku ingin,
segera benar-benar bertobat.
Lama-lama, karena
berulang-ulang dan muter-muter dari satu mulut. Petuah-petuah tadi menjadi
membosankan. Setelah ‘bersitegang’ dengan paman yang ‘memaksa’ kami untuk makan
terlebih dahulu dan kami menolaknya, akhirnya kami berhasil pulang. Diluar,
tambah cekikikan lagi. Mereka mulai berani menghinaku.
Bertemu
keponakan-keponakan di jalan adalah saatnya kita harus mengeluarkan dompet dan
mengambil isinya sebagian. Mereka, dengan umur yang masih taman kanak-kanak dan
sekolah dasar, tidak akan malu menagih. Seperti halnya kita yang dulu pernah
hidup di seumurannya. Tapi ada juga yang sudah bisa menolak secara halus,
meskipun sebenarnya dalam hati sangat mengharapkan. Tapi mendapat lembaran
nominal waktu lebaran memang berbeda rasanya, lebih spesial, kemudian kita akan
saling pamer ke saudara seumuran kita. Dompet siapa yang lebih tebal. Uangku
dulu pasti akan habis untuk beli mainan. Semakin besar mainan, semakin besar
pula kepala kita. Prestis. Ya, sejak kecil kita memang sudah alamiah suka umok.
Pulang ke rumah
masing-masing adalah kenikmatan yang tiada duanya setelah lebih dari seperempat
hari muter-muter desa. Rumah menjadi semacam mesin pendingin otomatis, ibarat
potongan besi yang dipanggang berjam-jam di atas bara api kemudian dicelupkan
ke air. Setelah itu aku biasanya akan malas untuk keluar rumah lagi. Karena
merasa capek adalah sebagian dari nikmat. Dingin juga adalah nikmat. Demikian
juga panas adalah nikmat. Dan ‘complain’ adalah nama tengah atau belakang dari
setiap nama yang orang-orang punya.
Alhamdulillah.
Malamnya aku nekat untuk sikat gigi dengan air dari bak mandi. Aku yang
menghabiskan masa kecil disini. Seharusnya memang tidak keras hati.
Beradaptasi. Sekali lagi bersyukur karena tidak semua orang bisa mengalaminya.
Ya, belajar bersyukur itu memang tidak ada habisnya. I feel blessed. Dan jika ada teman-teman yang mau berlibur kesini
dan merencanakan menginap beberapa hari, maka pakailah krim pelembab muka. Biar
lidah tidak semakin banyak komplain karena gara-gara udara, kulit menjadi
kering dan bersisik.
Memaafkan. Dimaafkan. Saling memaafkan. Tanpa gengsi. Semoga tidak hanya
satu tahun sekali.
H+1
Mobil-mobil ber
plat B dan N, seperti tahun-tahun sebelumnya sudah mulai bersliweran silih
berganti melewati jalan desa kami. Menuju destinasi, di pusat wisata yang
jaraknya 2 kilometer dari rumahku. Hari kedua lebaran selalu bertambah ramai.
Jika dari desaku, turun ke kota yang hari-hari biasanya hanya cukup memakan
waktu 45 menit, maka di hari ketiga atau keempat lebaran bisa sampai 3 jam. Aku
mengingat-ingat, rumah siapa, yang diluar desa yang belum dikunjungi. Belum
yang di kota, atau luar kota. Oh betapa, sebenarnya darah saya sudah tercemar
dimana-mana. Nah, saudara dari Magelang pun telah mendarat di jalan depan
rumah.
---
So, That’s all I
can share. Share me yours. Enjoy the winning days.
-Saya-
Categories:
SENSITIF
Saling memaafkan ya tse.. O:)
Mohon maaf lahir batin tse